ILMU ILMU LADUNI KH ABDUL MAJID MAKRUF
“IKUTlLAH BERJUANG MEMPERBAIKI MENTAL MASYARAKAT LEWAT JALAN BATHINIYAH”.

Kali ini kita akan membahas sosok fenomenal. Sebelumnya, kita pasti mengingat doa ilmu kebal berikut ini: 
ALLAHUMMA SALIMNA MINAL BOM WAL BUNDUQ, WAL BEDIL WAL MARTIL, WA UDDADA HAYATINA. sambil  minum air yang biasa dipakai untuk wudhu di masjid, maka kebal lah dia.  Itulah amalan yang diberikan kepada para pejuang 45 yang bertempur  melawan penjajah yang menyerang Surabaya pada 10 Nopember 1945. Sang  pengijasah amalan ini bukan orang sembarangan, dia adalah Hadlrotus  Syekh Al-Mukarrom KH Abdul Madjid Ma’ruf, Pengasuh Pesantren Kedunglo,  Desa Bandar Lor, Kota Kediri.
KH.  Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir dari pernikahan Syaikh Mohammad  Ma’roef, pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadharah dengan Nyahi  Hasanah putri Kyai Sholeh Banjar, Melati Kediri. KH. Abdul Madjid  Ma’roef QS wa RA lahir pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H/20  Oktober 1918 M sebagai putra ke tujuh dari sembilan bersaudara.
Beliau lahir di tengah pesantren yang  luas nan sepi. Dikelilingi rawa-rawa dengan jumlah santri yang tak  pernah lebih dari empat puluh orang, Kedunglo.
Ketika masih baru berumur dua tahun oleh  bapak-ibunya, gus Madjid dibawa pergi haji ke Makkah Al Mukarramah. Di  Makkah, setiap memasuki jam dua belas malam, Kyai Ma’roef selalu  menggendong Gus Madjid ke Baitullah di bawah Talang Mas. Di sana Kyai  Ma’roef berdoa, agar bayi yang berada dalam gendongannya kelak menjadi  orang besar yang sholeh hatinya, Kyai Ma’roef selalu mendoakan Gus  Madjid agar menjadi orang shaleh. Konon selama berada di Mekah, si kecil  Agus Madjid yang juga dikhitankan di sana akan diambil anak oleh salah  seorang ulama Arab dan disetujui oleh Mbah Yahi Ma’roef. Beruntung Mbah  Nyahi Hasanah keberatan, sehingga Agus Madjid tetap berada dalam asuhan  kedua orang tuanya.
Cerita Gus Madjid akan diangkat anak oleh  ulama Mekah memunculkan sebuah ungkapan, “Kalau bukan karena Kyai  Madjid maka Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir. Dan kalau bukan karena  Nyahi Hasanah, Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir di bumi Kedunglo”.
Sepulang dari Mekah, muncul kebiasaan  unik pada diri Agus Madjid. Beliau yang masih dalam usia tiga tahun  (balita), hampir di setiap kesempatan berkata, “Qul, dawuha sira Muhammad” (Qul,  katakanlah, wahai Muhammad) sambil meletakkan tangannya di atas kepala.  Kebiasaan semacam ini terus berlangsung hingga Beliau memasuki usia  tujuh tahun. Kebiasaan lain Beliau semasa kanak-kanak adalah suka  menyendiri, kurang suka bergaul dan sangat pendiam. Romlah dan Mbakyunya  ini pula yang mula pertama mengajari Beliau baca tulis Al-Qur’an.
Sifat pendiam dan tidak suka memamerkan  keistimewaan yang dimiliki terus dibawanya hingga Beliau memasuki usia  remaja. Karena sifat pendiam Agus Madjid inilah hingga tidak ada yang  tahu keistimewaan-keistimewaan Beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.
Walaupun Gus Madjid secara lahiriyah  nampat tidak istimewa dibandingkan dengan Gus Malik adiknya yang pandai  dan sering menampakkan kekeramatannya. Dan Gus Malik pula yang bertindak  sebagai wakil ayahnya apabila Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang  berhalangan, hingga tidak sedikit yang menyangka bahwa Gus Maliklah  calon penerus ayahnya. Akan tetapi pada hakikatnya, Kyai Ma’roef telah  mempersiapkan Agus Madjid sebagai penggantinya sejak Beliau baru  dilahirkan. Terbukti, meski Gus Madjid masih baru berusia dua tahun ada  yang mengatakan baru berumur 1,5 tahun, ayahnya telah membawanya serta  pergi haji. Padahal kita semua tahu bagaimana kondisi transportasi dan  akomodasi jamaah haji di tahun 1920-an. Sungguh sulit, penuh rintangan  dan sangat melelahkan. Belum lagi kondisi cuaca alam tanah Arab yang  berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia, dan itu ditempuh  berbulan-bulan lamanya.
Bukti lain bahwa Gus Madjid dipersiapkan  sebagai calon penerus ayahnya, adalah setiap mendekati bulan haji, Kyai  Ma’roef selalu kedatangan tamu dari kalangan sayyid dan sayyidah dari jazirah Arab. Saat itulah, sambil menggendong Gus Madjid, Nyahi Hasanah berkata kepada tamunyam, “Niki, Ndoro Sayyid yugo kulo, njenengan suwuk, dados tiyang ingkang sahaleh atine.” (Ini Tuan Sayyid, do’akan anak saya agar menjadi orang yang shaleh hatinya).
Pernah, suatu hari saat Kyai Ma’roef  sedang bepergian, datang seorang habib hendak bersilaturrahim. Karena  Kyai Ma’roef tidak ada, si tamu minta dipanggilkan Gus Madjid, katanya  akan dido’akan. Karena Gus Madjid sedang bermain dan belum mandi, maka abdi dalem (pembantu) membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui si tamu.  “Wah, ini bukan Gus Madjid, tolong bawa Gus Madjid kemari!” kata habib  kepda abdi dalem.
Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah  di Madrasah Ibtidaiyyah, namun hanya sampai kelas dua. Selanjutnya,  Kyai Ma’roef mengantar Agus Madjid mondok di Jamsaren Solo pada Kyai Abu  Amar. Genap tujuh hari di Jamsaren, Agus Madjid dipanggil gurunya,  disuruh kembali ke Kedunglo. “Sampun Gus, panjenengan kundur mawon!”,  sambil dititipi surat agar disampaikan kepda ayahnya. Gus Madjid  menuruti perintah Kyai Abu Amar, meski dengan pikiran penuh tanda tanya  kembali ke Kediri. Terdorong oleh jiwa muda ayng haus akan ilmu  pengetahuan, Agus Madjid kemudian mondok di Mojosari, Loceret, Nganjuk.  Namun setelah hari ketujuh, Beliau dipanggil Kyai Zainuddin, gurunya.
“Gus, njenengan sampun cukup, mboten usah mondok, kundur kemawon, wonten ndalem kemawon”.  (Gus, Anda sudah cukup, tidak mondok, pulang saja, di rumah saja). Agus  Madjid pun kembali ke Kedunglo dan matur kepada ayahnya, kalau gurunya  tidak bersedia memberinya pelajaran. “Wis kowe tak wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu, kamu aku didik sendiri saja, satu bulan nilainya sama dengan seribu bulan), ujar Kyai Ma’roef.
Maka  setelah empat belas hari mondok di Jamsaren dan Mojosari, gurunya  adalah ayahnya sendiri, Kyai Haji Mohammad Ma’roef RA yang telah  mewarisi ilmu dari Kyai Kholil, Bangkalan. Oleh ayahnya, setiap selesai  sholat maghrib, Gus Madjid diajari aneka macam ilmu yang diajarkan di  pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok  pesantren. Sehingga ayahnya pernah berkata kepada adik Gus Madjid, “Madjid iku nggak kalah karo anak pondokan” (Madjid itu tidak kalah dengan anak pesantren).
Tak heran kalau pada akhirnya Beliau tumbuh sebagai pemuda ayng sangat ‘alim dan wara’. Ibarat padi semakin tinggi ilmunya Beliau semakin tawadhu’ dan pendiam, sehingga siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik  kediamannya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan.  Tapi itulah keistimewaan Beliau yang tidak pernah menammpakan  keistimewaannya, karamahnya kepada sesamanya.
Menikah
Ketika Agus Madjid sudah berumur 27 tahun dan hampir menguasai  keseluruhan ilmu ayahnya, Beliau semakin nampak dewasa dan matang.  Tidaklah aneh kalau banyak gadis yang mengidamkannya. Karena disamping  Beliau dikenal sebagai putra kyai ampuh yang masyhur dan makbul doanya,  Agus Madjid adalah sosok pemuda ‘alim berwajah tampan nan rupawan bagai  rembulan.
Namun  dari sekian gadis, putri-putri kyai yang mendambakan dipersunting oleh  Agus Madjid, akhirnya yang menang adalah dara manis yang sedang beranjak  remaja, bernama Shofiyah yang kala itu berusia 16 tahun putri K.  Moh. Hamzah dengan Ibu Ummi Kulsum, buyut KH. Mansyur pendiri Kota  Tulung Agung yang mendapat tanah perdikan dari Sultan Hamengkubuwono II  karena telah berhasil mengeringkan sumber Tulung Agung, dan kini menjadi  alun-alun kota Tulung Agung.
Semula, oleh ibunya Agus Madjid dijodohkan dengan sepupunya sendiri yaitu “Nyahi Zainab” putri KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo (akhirnya dinikahi oleh KH. Mahrus  Lirboyo. Red). Apalagi Agus Madjid saat ditawari akan dinikahkan dengan  saudara sepupunya yang cantik dan pinter itu hanya diam saja. Meski  tidak mendapat jawaban yang pasti dari Agus Madjid, antara pihak  Kedunglo dan pihak Lirboyo sepakat akan menikahkan keduanya.
Kemudian diselenggarakanlah upacara akad nikah putra dan putri kyai yang  masih kerabat dekat dan sama-sama pernah menjadi santri Kyai Kholil  Bangkalan ini dengan menyembelih lima ekor kambing.
Tetapi  entah mengapa, ketika Pak Naib meng-akid, calon pengantin putra hanya  diam saja tidak menjawab. Berkali-kali Pak Naib mengucapkan ijab tetapi tidak mendapat jawabab qobul dari Agus Madjid. Maka menghertilah kedua orang tuanya termasuk calon  mertuanya, kalau Gus Madjid tidak mau menikah dengan “Nyahi Zainab”,  saudara sepupunya tersebut. Lepas dari perkawinan antara kerabat, Agus  Madjid ditawari kembang dari Tawangsari, Tulung Agung yang sedang  mekar-mekarnya oleh Yusuf santri ayahnya yang tak lain adlah paman si  gadis. Agus Madjid setuju dan nontoni (melihat) si gadis yang sedang  memetik beberapa kuntum Melati dari balik jendela di bawah menara  masjid. Si gadis itu tak lain adalah Shofiyah putri ke-7 dari 12  bersaudara.
Perkawinan  antara Kyai Abdul Madjid dengan Nyahi Shofiyah dikaruniai 14 orang  anak. Keempatbelas putra-putri itu adalah Ning Unsiyati (Almh), Ning  Nurul Isma, Ning Khuriyah (Almh), Ning Tatik Farikhah, Agus Abdul  Latief, Agus Abdul Hamid, Ning Fauziah (Almh), Ning Djauharatul  Maknunah, Ning Istiqomah, Agus Moh. Hasyim Asy’ari (Alm), Ning Tutik  Indyah, Agus Syafi’ Wahidi Sunaryo, Ning Khusnatun Nihayah dan Ning  Zaidatun Inayah.
 Kepribadiannya
KepribadiannyaMbah KH. Abdul Madjid QS wa RA mempunyai  kepribadian yang sangat mempesona. Menurut penuturan orang-orang yang  hidup sejaman dengan Beliau, akhlak Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA  adalah bi akhlaqi Rasulillah SAW. Berbadan sedang, dengan  warna kulit putih bersih. Berhidung mancung agak tumpul dan berbibir  bagus, agak lebar dengan garis bibir tidak jelas yang menunjukkan bahwa  Beliau mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa. Matanya cekung  dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam bak gua, menunjukkan bahwa  Beliau seorang yang mempunyai pemikiran yang tajam dan dalam. Di antara  kedua matanya terdapat urat halus dan lurus sebagai pertanda Beliau Mbah  Yahi Madjid memiliki otak yang brilian. Tangannya halus dan lembut,  selembut hatinya yang pemaaf. Kalau berjalan, Beliau melangkah dengan  pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah ke bawah. Terkadang Beliau  juga menoleh ke kiri/kekanan untuk melihat situasi dan keadaan jamaah.  Mengenai jalannya Mbah Yahi ini, Kyai Zainudin menuturkan bahwa yang  paling mendekati jalannya Mbah Yahi adalah Beliau Romo Yahi Abdul Latief  Madjid RA, ketika Beliau mios (berangkat) ke masjid untuk pengajian Minggu pagi.
Kalau bicara tenang dan santai disertai  senyum, Beliau juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda yang  membuat Beliau dan tamunya tertawa. Beliau berbicara dengan jawami’ kalam.  Artinya, kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak,  karena Beliau mempuNyahi kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan  ringkas dan padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam  satu ucapan yang dituturkannya. Beliau mengucapkan kata-kata dengan  jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Beliau  memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
Di samping itu Beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan nampat tidak punya ongkos buat pulang, disangoni (diberi ongkos) oleh Mbah Yahi. Pernah Mbah Yahi memberi uang belanja  kepada seorang pengamal (sebutan untuk pengamal Shalawat Wahidiyah) yang  tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu  karamah Beliau, ketika si tamu pamit pulang Mbah Yahi memberikan  jubahnya kepada si tamu.
Beliau sangat memperhatikan kebersihan  dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakainya sekali tidak  dipakainya lagi. Karena tak heran kalau Beliau sering mencuci pakainnya  sendiri bahkan juga menguras jeding-nya (bak mandi) sendiri.  Dalam masalah ini Beliau pernah mengungkapkan rumah itu hendaknya suci  seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit. Bila marah, Beliau cuma  diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau Beliau mau berbicara  pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan sperti tidak pernah terjadi  apa-apa.
Perihal marahnya Mbah Yahi QS wa RA ini, Mbah Nyahi sebagai orang  terdekat yang telah menemani Beliau lebih dari 40 tahun menuturkan,  “Kalau Beliau kurang berkenan kepada saya, atau ada kesalahan ayng telah  saya lakukan, tetapi saya kurang menyadarinya, Beliau hanya diam saja  dengan roman muka sedikit berubah tidak seperti biasanya. Kalau Mbah  Yahi sudah demikian, saya bingung dan sedih sekali. Begitu besarkah  kesalahan saya di amta Beliau? Kemudian satu persatu saya koreksi  kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga Beliau tidak menegur  saya. Semakin saya koreksi, saya merasakan terlalu banyak kesalahan yang  telah saya perbuat sehingga saya tidak tahu di mana letak kesalahan  saya sendiri. Namun itu tidak berlangsung lama, sebentar kemudian Beliau  menegur saya dan selanjutnya seperti tak pernah terjadi apa-apa.”
 Dari sini kita tahu kalau kehidupan rumah tangga Beliau jauh dari  perselisihan dan tidak pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada  kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing sibuk mengoreksi  kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yahi, yang sering berfatwa agar para  pengamal lebih sering 
nggrayahi githoke dewe (mengoreksi  kesalahan sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain, ternyata  terlebih dahulu diterapkan pada keluarga Beliau. Kehidupan rumah tangga  Mbah Yahi dan Mbah Nyahi adalah potret kehidupan rumah tangga harmonis  dan sangat bahagia. Sebagai suami, Mbah Yahi adalah sosok suami yang  romantis, amat setia, mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati. Meski  sebagai putra kyai, Mbah Yahi tidak segan-segan menghibur istrinya  dengan mengajaknya menonton pasar malam, seraya menggandeng tangan Mbah  Nyahi. Bahkan Beliau juga menggendong Mbah Nyahi apabila menjumpai jalan  licin atau ada kubangan-kubangan di tengah jalan. “Kalau kami jalan  berdua, Mbah Yahi itu tidak pernah melepaskan tangan saya. Beliau selalu  menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami lakukan berdua. Bahkan  untuk mencari hutangan kalau kami tidak punya uang, kami mencari  bersama-sama”, tutur Mbah Nyahi saat menceritakan kemesraan Mbah Yahi. 
Dalam kehidupan sehari-hari Mbah Yahi  Madjid QS wa RA, sebagaimana yang dikatakan Mbah Nyahi RAH, Beliau  adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Beliau mencuci baju  sendiri dan kerap kali mencucikan baju Mbah Nyahi atau baju  putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi. Beliau selalu membantu  Mbah Nyahi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau Mbah Nyahi akan  memasak sayur santan, Mbah Yahi yang memarut kelapanya dan Mbah Nyahi  ayng membuat bumbunya. Mbah Yahi juga membantu mengasuh putra-putrinya  yang masih kecil-kecil. Memandikan, ndandani (berhias) bahkan menyuapi.
Kalau persediaan padi hasil panen habis, Mbah Yahi memanen sayuran  kangkung yang Beliau tanam sendiri, lalu dijual ke pasar oleh Mbah Nyahi  untuk dibelikan beras. Tak jarang Beliau sekeluarga hanya makan sayur  kangkung saja. Dalam kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dulu, tidak  mempunyai apa-apa sama sekali sudah biasa. Dan kondisi semacam itu  diterima dengan tabah, sabar dan ikhlas oleh Mbah Nyahi. Melihat kondisi  Mbah Yahi sekelurga yang sangat sederhana dan apa adanya tersebut, Pak  Haji Alwan merasa kasihan dan berkata kepada Mbah Yahi, “Romo Kyai  Ma’roef itu orangnya ampuh dan apa-apa yang Beliau inginkan, Kyai  Ma’roef tinggal berdo’a memohon kepda Allah langsung diijabahi”. 
Tapi apa tanggapan Mbah Yahi? “Pak Haji  Alwan, kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah,  sedangkan saya ndak usah berdoa, hanya krenteg (terbetik) dalam  hati saja langsung diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau”.  Pernyataan Mbah Yahi QS wa RA di atas mengingatkan kita kepada  Rasulullah SAW, saat Malaikat Jibril merasa sangat prihatin menyaksikan  kehidupan keseharian Rasulullah SAW sebagai makhluk terkasih di sisi  Allah SWT yang hidupnya sangat sederhana, sehignga Malaikat Jibril  menawarkan Rasulullah hendak mengubah gunung menjadi emas.
“Biarlah saya begini, sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar,  aku bisa mengingat Tuhanku dan menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku  kenyang, aku bisa memuji Tuhanku menjdi hamba Allah yang bersyukur”,  itulah jawaban seorang manusia termulia di muka bumi ini. Mbah Yahi QS  wa RA saat awal menyusun Shalawat Wahidiyah, senantiasa prihatin. Beliau  prihatin karena urusan-urusan penting yang sedang di hadapinya.  Keprihatinan Beliau bukanlah berkaitan dengan masalah khusus mengenai  dirinya, melainkan yang berhubungan dengan orang lain, berhubungan  dengan masyarakat 
jami’al ‘alamin. Hal lain mengenai Beliau  adalah setiap orang yang memandangnya akan merasakan kesejukan yang  merasuk ke dalam hati. Dan siapa pun yang Beliau pandang hatinya pasti  bergetar. 
Wahidiyah
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah, Beliau adalah seorang aktifis NU.  Ketika usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik  NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun  Beliau terlihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi  kenyataannya Beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan.  Keaktifannya di NU terus berlanjut meski Beliau sudah menikah. Beliau  pernah menjabat sebagai pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU  cabang Kodya Kediri. Namun setelah Beliau diberikan amanah Rasulullah  SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya (1963) ke pada  umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Pada tahun 1964, Mbah Yahi  menyelenggarakan resepsi ulang tahun Shalawat Wahidiyah pertama  sekaligus khitanan Agus Abdul Hamid dan selapan harinya Ning Tutik  Indiyah dengan mengundang Pembesar Ulama dari berbagai daerah Jawa  Timur, di samping keluarga dan kaum muslimin lainnya. Hadir sebagai tamu  kehormatan, antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rois ‘Am NU dan  Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambah Beras, Jombang; KH. Machrus Ali,  Syuriah NU Wilayah Jatim dan Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kediri; KH. Abdul  Karim Hasyim (Putra Pendiri NU) Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang;  dan KH. Hmim Djazuli (Gus Mik) Putra pendiri Ponpes Al Falah, Ploso,  Mojo, Kediri. Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi untuk  menyiarkan Shalawat Wahidiyah kepda segenap hadirin.
“Nuwun sewu, kula gadah amalan Shalawat Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula ijazahi?” (Mohon maaf, saya mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin  bersedia saya beri ijazah?), tutur Mbah Yahi dalam sambutannya. Spontan  yang hadir menjawab “kerso” (bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada yang setengah berdiri, seakan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula KH. Wahab Hasbullah spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: “Qobiltu awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama).
Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam  sambutannya, antara lain mengatakan, “Hadirin.. ilmunya Gus Madjid dalam  sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam sepuluh meter. Sedang saya  hanya memiliki ukuran satu koma dua meter saja. Sholawatnya Gus Madjid  ini akan saya amalkan..”.
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah.  Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah,  karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Wahidiyah akan jadi  saingan NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri  bersama-sama silaturrahim kepada Beliau mohon penjelasan tentang  Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang  singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya,  “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa? Dasar apa dan menurut qoul yang mana?”
Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat  Wahidiyah itu susunan saya sendiri”. Para tamu, kembali bertanya, “Apa  benar, Kyai mengatakan kalau orang membaca Sholawat Wahidiyah itu sama  dengan ibadah satu tahun?”
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat, kalau membaca sholawat  Allahumma kamaa anta ahluh… itu sama dengan ibadah setahun. Begitu itu,  ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca  Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalil sepuluh kali”,  jawab Mbah Yahi Madjid QS wa RA. Para tamu masih terus bertanya, “Apa  benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa  ma’rifat? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh?”  “Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat itu banyak”, jawab Mbah Yahi.  Mendengar jawaban Mbah Yahi yang tegas dan lugas, kemudian para tamu  tidak bertanya kembali.
Suatu ketika Mualif Sholawat Wahidiyah  memberikan penjelasan mengenai Sholawat Wahidiyah di dukuh Mayam Desa  Kranding, Kec. Mojo, Kab. Kediri, di hadapan para kyai se-kecamatan Mojo  Selatan, di antara yang hadir adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli  Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, dalam khutbah iftitah-nya Beliau Mualif Sholawat Wahidiyah mengucapkan: “Alhamdulillaahi aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”
Sebelum Wahidiyah disiarkan secara umum,  Mbah Yahi mengirimkan Shalawat Wahidiyah yang ditulis tangan oleh K.  Muhaimin (Alm) santri Kedunglo kepada para ulma Kediri dan sekitarnya  disertai surat pengantar yang Beliau tandatangani sendiri. Sejauh itu  tak satupun di antara kyai yang dikirimi shalawat, mempermasalahkan  Shalawat Wahidiyah.
“Semua doa sholawat itu baik”. Begitu komentar para kyai waktu itu.
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang  sependapat terhadap adanya (lahirnya) Shalawat Wahidiyah, namun oleh  Mbah Yahi justru mereka yang tidak atau kurang sependapat dengan adanya  Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai kawan seperjuangan. Sebab dengan  adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat Wahidiyah dan  ajarannya mendorong pengamal jadi lebih giat dalam bermujahadah dan  sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu turut menyiarkan Wahidiyah  dengan cara dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya  silang pendapat atau salah faham tersebut, orang yang tadinya belum tahu  Shalawat Wahidiyah menjadi tahu. Mereka ikut andil dalam Perjuangan  Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW. (Begitu mulia akhlaq Hadratul  Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Al Faathihah….)
Ghoutsu Zamanihi
Menurut penjelasan Kyai Baidhowi, Mbah Yahi QS wa RA diangkat menjadi  “Ghouts” oleh Allah SWT sebelum Beliau dipercaya oleh Rasulullah SAW  mentaklif Sholawat Wahidiyah, jadi antara tahun 1959 – 1992. Mbah Yahi  QS wa RA sendiri pada pertengahan tahun 1961 sering dawuh menganjurkan  kepada penderek (pengikut) dekatnya agar mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman.
“Monggo sami madosi Ghoutsu Hadzaz Zaman, manggene wonten pundi?” (mari bersama-sama mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman, keberadaannya di mana?)
Mendengar dawuh Mbah Yahi seperti itu, Mbah KH. Mubasyir Mundir (Alm)  salah seorang yang dekat dengan Mbah Yahi, yang sudah masyhur  kewaliannya di Jawa Timur berangkat ke Ponpes Tebu Ireng-Jombang yang  diasuh oleh KH. Abdul Karim Hasyim (cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim  Asy’ary RA) bermaksud riyadhah mencari “Ghoutsu Zaman”. Rencananya Mbah Mundir (panggilan akrab KH. Mubasyir Mundir)akan riyadhah dengan puasa mutih selama 40 hari. Namun baru seminggu, beliau sudah menerima alamat (isyarah bathiniyah) bahwa: KH. Abdul Madjid Ma’roef adalah “Quthbul Aqthob Hadzaz Zaman”. Akhirnya rencana riyadhoh selama 40 hari beliau batalkan. Selanjutnya Mbah Mundir kembali ke  Kedunglo. Sesampainya di Kedunglo dan berjumpa denagn Mbah Yahi QS wa  RA, tanpa berkata sepatah kata pun, Mbah Mundir langsung tersungkur di  hadapan Mbah Yahi.
“Gus, mbok ya sampun ngoten, biasa-biasa kemawon” (Gus, tidak usah seperti itu, yang wajar-wajar saja), tutur Mbah Yahi.
Setelah peristiwa tersebut, Mbah Mundir berpesan kepada putra  kesayangannya yakni Agus Thoha Yasin, “Ha.. (Thoha) nanti kalau ada tamu  jangan dibukakan pintu, tapi kalau tamunya Kyai Madjid, persilahkan  masuk”.
Bersamaan itu, masih menurut Kyai  Baidlowi, keponakan Mbah mundir, Agus Muhaimin Abdul Qodir dalam kondisi  terjaga dihadiri Nabiyullah Khidir AS, yang intinya menyampaikan bahwa  Beliau Mualif Shalawat Wahidiyah adalah Qathbul Aqthob. Kyai Agus  Muhaimin kurang percaya, seraya bertanya: “Masih banyak ulama yang  ‘allamah, kenapa kok Pak Kyai Abdul Madjid yang menduduki jabatan  Shulthonul Auliyaa?” Nabi Khidzir menjawab, “Tidak ada pilihan lain ‘indallah selain dia”. Setelah jawaban itu, nabi Khidzir pun menghilang.
KH. Hamim Djazuli (Gus Mik) yang kondang kewaliannya, mengakui kalau  Muallif Shalawat Wahidiyah adalah “Shulthonul Auliyaa” seperti yang  disampaikannya saat beliau memberi kata sambutan dalam acara khitanan  dan ulang tahun pertama Shalawat Wahidiyah. Di antara sambutannya, “Para  hadirin, siapakah sebenarnya Agus Abdul Madjid itu?” Karena tak satu  pun dari yang hadir menjawab, maka beliau meneruskan sambutannya,  “Beliau adalah Roisul ‘Arifin. Hadirin, seumpama Panjenenganipun Syaikh  Abdul Qodir Al-Jailani masih hidup, saya yakin akan juga ikut  mengamalkan shalawat Agus Abdul Madjid ini”. 
Di sisi lain, setelah KH. Djazuli Utsman,  ayahanda Gus Mik juga dengan sungguh-sungguh mengamalkan Shalawat  Wahidiyah. Konon katanya, setiap melaksanakan shalat fardhu dan  mengamalkan Shalawat Wahidiyah, Mbah Yahi Madjid QS wa RA nampak di  hadapannya. Kejadian tersebut terus berlangsung hingga tujuh hari.  Sementara itu Ibu Nyai Djazuli mengungkapkan, ketika membaca Shalawat  Wahidiyah mendengar suara ghaib yang menyatakan dengan jelas bahwa Kyai  Abdul Madjid adalah Ghautsu Hadzaz Zaman, berulang-ulang sampai tiga  kali. Kemudian pengalaman bathin tersebut disampaikan kepada Kyai  Djazuli Ustman, beliau juga menceritakan pengalaman yang sama. Akhirnya  beliau berdua memutuskan sowan ke Kedunglo.
Keesokan harinya, sekitar jam tujuh pagi  Kyai Djazuli Ustman beserta Ibu Nyai bersiap hendak pergi ke Kedunglo  dengan membawa sekarung beras dan rencananya akan mengendarai dokar.  Tetapi belum sampai berangkat, Mbah Yahi beserta Mbah Mundir dan Bapak  Abdul Jalil Jaserman telah tiba lebih dulu di Ponpes Ploso (tempat  tinggal Kyai Djazuli Ustman).
Selasa Kelabu di Bulan Rajab
“Romo Yahi kurang sehat….” “Romo Yahi lagi gerah…” Kabar itu  segera menyebar ke seluruh perserta Mujahadah Kubro di bulan Rajab tahun  1989. Kontan saja resepsi Mujahadah Kubro memperingati Isra’ Mi’raj  Nabi Muhammad SAW serasa lain dari biasanya. Suasana syahdu tersa sangat  melingkupi hari-hari Mujahadah Kubro. Apalagi pada malam pertama, kedua  dan ketiga Mbah Yahi tidak mios (tidak hadir secara langsung ke arena mujahadah) untuk menyampaikan fatwa dan amanat.
Pada malam terakhir, sebenarnya Mbah Yahi  QS wa RA sudah melimpahkan pengisian fatwa dan amanah kepda putra  lekaki pertamnya (Romo KH. Abdul Latief Madjid RA). Tetapi para  pecintanya sangat merindukan Mbah Yahi hadir di tengah-tengah peserta  untuk mendengarkan fatwa terakhir Beliau. Kemudian wakil dari peserta  menyampaikan kepada Mbah Nyahi akan kerinduan dan kecintaan para  pengamal kepada Mbah Yahi. Akhirnya Mbah Nyahi sowan kepada Mbah Yahi  agar Mbah Yahi berkenan menyampaikan fatwa dan amanat terakhirnya.
Puji syukur Al-Hamdulillah, karena kasih  dan sayang Mbah Yahi kepada pengamal, Beliau berkenan menyampaikan fatwa  dan amanat terakhir di malam terakhir pelaksanaan mujahadah kubro,  meski dari dalam kamar di ndalem (rumah Beliau) tengah. Pada kesempatan tersebut Beliau memberikan “ijazah” Shalawat Wahidiyah kepada seluruh hadirin untuk diamalkan dan disiarkan dengan kalimat, “Ajaztukum bihadzihish shalawatil wahidiyah fil amali wan nasyri”.  Setelah itu, kondisi kesehatan Beliau semakin berkurang, walau demikian  Beliau masih juga berkenan mengisi pengajian Ahad pagi dari ndalem.
Begitulah Mbah Yahi QS wa RA, di saat-saat terakhir hayatnya, Beliau masih membimbing dan men-tarbiyah pe-nderek-nya.  Mengenai siapa di antara putra-putra Beliau yang kerap disebut,  sebagaimana yang diceritakan oleh Kyai Rahmat Sukir dari penuturan Mbah  Nyahi. Pada detik terakhir menjelang wafatnya, yang dipanggil-panggil  Mbah Yahi adalah Agus Latief (Romo Yahi Abdul Latief RA). Saat itulah,  Romo Yahi Abdul Latief RA memohonkan maaf segenap keluarga dan seluruh  pengamal Shalawat Wahidiyah kepada Mbah Yahi QS wa RA. “Ya..” jawab Mbah  Yahi QS wa RA. Tak lama berselang, saat itu Selasa Wage tanggal 7 Maret  1989 atau 29 Rajab 1409 H, jam 10.30 WIB, Sang Warasatul Anbiyaa, Al  Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid RA telah  ridla dan diridlai menghadap Allah SWT.
Tak ada tangis yang meledak, hanya awan  kedukaan begitu kelabu menyelimuti Selasa itu, dan perlahan-lahan air  mata pun menetes di bumi Kedunglo Al-Munadharah seiring datangnya para  tamu dari berbagai penjuru, yang ingin bertakziyah dan memyampaikan  penghormatan terakhir kepada sesorang yang ‘Alim, namun tidak  pernah menampakkan ke-‘aliman-nya. Semakin senja para peziarah semakin  membanjir. Shalat janazah pun dilaksankan secara bergilir, karena masjid  sudah tidak menampung jumlah jamaah. Begitu juga pemakaman terpaksa  ditunda, mengingat jumlah peziarah yang terus mengalir dan menunggu  keputusan musyawarah keluarga ndalem Mbah Yahi.
Begitulah sekilas “manaqib” Hadratul  Mukarram Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid  QS wa RA Muallif Shalawat Wahidiyah, Mujaddid, Reformis Akhlak,  Pahlawan Pembebas Nafsu yang gelar kepahlawanannya bukan direkomendasi  oleh pejabat pemerintah melainkan direkomendasi langsung oleh Allah SWT.  Semoga kita semua bisa meneladaninya. Amiin.
 ILMU-ILMU LADUNI
 Hadratul Mukarram Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH.  Abdul Madjid QS wa RA kebanyakan menerima amalan doa doa secara laduni  artinya menerima “alamat ghoib”- istilah Beliau – dalam keadaan terjaga  dan sadar, bukan dalam mimpi. Maksud dan isi alamat ghoib tersebut  kurang lebih: “ikutlah berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat  jalan bathiniyah”.
Sesudah menerima alamat ghoib tersebut  Beliau sangat prihatin. Kemudian mencurahkan / memusatkan kekuatan  bathiniyah, bermujahadah (istilah Wahidiyah), bermunajat / mendekatkan  diri kepada Alloh memohon bagi kesejahteraan ummat masyarakat, terutama  perbaikan mental / akhlaq dan kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi.
Do’a-do’a / amalan yang Beliau perbanyak  adalah do’a sholawat, seperti Sholawat Badawiyah, Sholawat Nariyah,  Sholawat Munjiyat, Sholawat Masisiyah dan masih banyak lagi.
Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh doa  yang beliau amalkan untuk memenuhi maksud alamat ghoib tersebut adalah  do’a Sholawat. Seakanakan boleh dikatakan bahwa seluruh waktu beliau  tidak ada yang tidak dipergunakan untuk membaca sholawat. Suatu contoh  ketika bepergian dengan naik sepeda, beliau memegang stir sepeda dengan  tangan kiri, sedang tangan kanan Beliau dimasukkan ke dalam saku baju  untuk memutar tasbih. Untuk amalan Sholawat Nariyah misalnya Beliau  sudah terbiasa mengkhatamkannya dengan bilangan 4444 kali dalam tempo  kurang lebih 1 (satu) jam.
Allohumma  sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina  Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil qurobu wa  tuqdho bihil hawaaiju wa tunalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa  yustasqol ghomamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli  lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’lummin lak”
 
Artinya :Ya  Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam  kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang  dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan  dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang  didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang  mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta  para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan  semua yang diketahui oleh Engkau.
Banyaknya  bilangan bacaan yang ditempuh dalam waktu sesingkat itu bagi Beliau  tidaklah mustahil. Itulah kelebihan yang diberikan oleh Alloh kepada  sebagian Waliyulloh. Karomah tersebut lazimnya disebut “thoyyul-waqti”  (melipat/menyingkat waktu) sebagaimana karomah yang serupa yang disebut  “thoyyul-ardli” (melipat/ memperpendek jarak bumi). Yakni suatu jarak /  jangka waktu yang umumnya harus ditempuh dalam waktu yang lama (beberapa  jam/hari/ minggu), bagi sebagian waliyulloh yang diberi karomah di  bidang itu bisa ditempuh hanya beberapa saat saja.
Beliau menerima alamat ghoib lagi, alamat  yang ke dua ini bersifat peringatan terhadap alamat ghoib yang pertama.  Maka Beliaupun mening-katkan mujahadah kepada Alloh, sehingga kondisi  fisik / jasmani Beliau sering terganggu, namun tidak mempenga-ruhi  kondisi bathiniyah Beliau.
Tidak  lama dari alamat ghoib yang ke dua itu, beliau menerima lagi alamat  ghoib dari Alloh, untuk yang ke tiga kalinya. Alamat yang ke tiga ini  lebih keras lagi dari pada yang kedua “Malah kulo dipun ancam menawi  mboten enggal-enggal ngelaksanaaken” (malah saya diancam kalau tidak  cepat-cepat melaksanakan). Demikian kurang lebih penjelasan beliau  “Saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak  bakdanipun meniko” (karena kerasnya peri-ngatan dan ancaman, saya sampai  gemetar sesudah itu), tambah Beliau. Sesudah itu semakin bertambahlah  prihatin, mujahadah, taqorrub dan permohonan Beliau ke Hadlirot Alloh.
Dalam situasi bathiniyah yang senantiasa  ber-tawajjuh ke Hadlirat Alloh wa Rosulihi itu, beliau menyusun suatu  do’a sholawat. ”Kulo lajeng ndamel oret-oretan” (saya lalu membuat  coretan), istilah Beliau. “Sak derenge kulo inggih mboten angen-angen  badhe nyusun sholawat” (sebelumnya saya tidak berangan-angan menyusun  Sholawat). Beliau menjelaskan : “Malah anggen kulo ndamel namung kalian  nggloso” (bahkan dalam menyusun saya hanya dengan tiduran).
Yang  dimaksud do’a sholawat yang baru lahir dari kandungan bathiniyah yang  bergetar dalam frekuensi tinggi kepada Alloh wa Rosuulihi, bathiniyah  yang diliputi rasa tanggung jawab dan prihatin terhadap ummat  masyarakat, adalah Sholawat sebagai berikut :
اَللّهُمَّ  كَمَآ أَنـْتَ أَهْـلُهْ , صَـلّ وَسَـلّمْ وَبـَارِك  ْعَـلَىسَـيّــدِنـَا وَمَــوْلانَـا وَشَفِـيْعِنَا وَحَبِـيْبـِنَا  وَقُـرَّة ِأَعْـيُـنِـنَا مُحَـمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كمَا هُوَ أَهْـلُهْ , نَسْـأَلُكَ اللّـهُمَّ بـِحَقِّهِ أَنْ  تُغْرِقَـنَا فِى لُجَّةِ بَحْر الْوَحْدَةْ , حَتَّى لا نَرَى  وَلانَسْمَعَ ولا نَجِدَ وَلاَ نُحِسَّ وَلا نَـتَحَرَّك وَلا نَسْكُنَ  إِلاّ َّبِهَا , وَتَرْزُقَــنَا تَمَـامَ مَغْـرف تِكْ , وَتَمَامَ   نِعْمَتـِك ْ, وَتَمَامَ مَعْرِِفَـتِكْ , وَتَمَامَ مَحَبَّـتِـكْ ,  وَتَـمَامَ رضْـوَانِكْ , وَصَـلّ وَسَلِّمْ وَبَاركْ عَلَيْهِ  وَعَلَىآلِهِ وَصَحْبِهْ , عَدَدَ مَآ أَحَاط بهِ عِلْمُك وَأَحْصَـاهُ  كِتَابُكْ , بِرَحْمَـتِكَ يـَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن , وَالْحَـمْـدُ   ِللهِ رَبّ ِالْـعَالَمِــْين
ALLOOHUMMA  KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA WAMAULAANAA,  WASYAFII’INAA, WAHABIIBINAA, WAQURROTI A’YUNINAA MUHAMMADIN  SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA  BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO  WALAA NASMA’A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA  NASKUNA ILLAA BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH,  WATAMAAMA NI’MATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH,  WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA RIDLWANIKA YAA ALLOH;  WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA’ALAA AALIHI WASHOHBIH. ‘ADADAMAA  AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA  ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL’AALAMIIN.
“Niki kulo namekaken Sholawat Ma’rifat” (Ini saya namakan Sholawat Ma’rifat), penjelasan Beliau.
Dalam sholawat tersebut belum ada kalimat يَآ أَلله setelah kalimat تــَمَامَ  مَـغْـــرف تـِك dan seterusnya seperti yang ada sekarang ini .
Kemudian  Beliau menyuruh tiga orang supaya mengamalkan sholawat yang baru lahir  tersebut. Tiga orang yang Beliau sebut sebagai pengamal percobaan itu  ialah Bapak Abdul Jalil (almarhum) seorang tokoh tua (sesepuh) dari desa  Jamsaren, Kota Kediri, Bapak Mukhtar (seorang pedagang dari desa Bandar  Kidul, Kota Kediri), dan seorang santri pondok Kedunglo yang bernama  Dakhlan, dari Demak, Jawa Tengah. Alhamdu lillah, setelah  mengamalkan sholawat tersebut mereka menyampaikan kepada Beliau bahwa  mereka dikaruniai rasa tenteram dalam hati, tidak ngongso-ngongso dan  lebih banyak ingat kepada Alloh. Setelah itu Beliau menyu-ruh lagi  beberapa santri pondok supaya mengamalkannya. Alhamdulillah, hasilnya  juga sama seperti yang diperoleh oleh tiga orang tersebut di atas.
Beberapa waktu kemudian bertepatan dengan bulan Muharram Beliau menyusun Sholawat lagi yaitu :
للَّهُمَّ  يَاوَاحِـدُ يَآ أَحَدْ , يَـاوَاجِـدُ يَاجَوَادْ , صَلّ وَسَلِّـمْ  وَبَاركْ عَلَى سَـيّـِِدِنـَا مُحَـمَّدٍ وَّعَـلَى آلِِ سَيـِّدِنـَا  مُحَمَّدْ , فِىكُلِّ لـَمْحَة ٍ وَّنَـفَسٍٍ بِعَـدَدِ مَـعْلُوْمَاتِ  اللهِ وَفُـيُـوْضَاتِهِ وَأَمْدَادِهْ
Sholawat  tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam susunan Sholawat  Wahidiyah. Karena lahirnya Sholawat ini pada bulan Muharram, maka  Beliau menetapkan bulan Muharram sebagai bulan kelahiran Sholawat  Wahidiyah yang diperingati ulang tahunnya dengan pelaksanaan Mujahadah  Kubro Wahidiyah pada setiap bulan tersebut.
Untuk mencoba khasiat sholawat yang kedua ini, Beliau menyuruh beberapa orang supaya mengamalkannya, Alhamdulillah,  hasilnya lebih positif lagi. Yaitu mereka dikarunia oleh Alloh,  ketenangan bathin dan kesadaran hati kepada Alloh yang lebih mantap.
Semenjak itu Beliau memberi ijazah Sholawat اَللـــَّــهُمَّ يَاوَاحـــِــدُ dan للّـهُــمَّ كــَمَآ أَنــْتَ أَهْـلــُهْ tersebut  secara umum, termasuk para tamu yang sowan (berziarah) kepada Beliau.  Disamping itu, Beliau menyuruh seorang santri untuk menulis  sholawat-sholawat tersebut dan mengirimkannya kepada para ulama / kyai  yang diketahui alamatnya dengan disertai surat pengantar yang beliau  tulis sendiri. Isi surat pengantar itu antara lain; agar sholawat yang  dikirim itu bisa diamalkan oleh masyarakat setempat. Sejauh itu tidak  ada jawaban negatif dari para ulama / kyai yang dikirimi.
Dari  hari ke hari semakin banyak yang datang memohon ijazah amalan Sholawat  Wahidiyah. Oleh karena itu Beliau memberikan ijazah secara mutlak.  Artinya disamping diamalkan sendiri supaya disiarkan / disampaikan  kepada orang lain tanpa pandang bulu.
Sejak  sebelum lahirnya Sholawat tersebut, di masjid Kedunglo setiap malam  Jum’at (secara rutin) diadakan pengajian kitab Al-Hikam yang dibimbing  langsung oleh Hadhrotul Mukarrom Muallif sendiri. Pengajian tersebut  diikuti oleh para santri, masyarakat sekitarnya dan beberapa kyai dari  sekitar kota Kediri. Pada suatu pengajian rutin tersebut, Sholawat  “ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH …..” ditulis di papan tulis dan Beliau  menerangkan / menjelaskan hal-hal yang terkandung di dalamnya, kemudian  memberi ijazah secara mutlak pula untuk diamalkan dan disiarkan  disamping Sholawat “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU…”.
Dengan  semakin banyaknya orang yang memohon ijazah dua sholawat tersebut, maka  untuk memenuhi kebutuhan, Bapak KH Mukhtar, Tulung agung, seorang  pengamal Sholawat Wahidiyah yang juga ahli khoth (kaligrafi / tulis  Arab) membuat lembaran Sholawat Wahidiyah yang terdiri dari “ALLOOHUMMA  KAMAA ANTA AHLUH …..” dan “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU .…”. Pembuatannya  menggunakan stensil yang sederhana dan dengan biaya sendiri serta  dibantu oleh beberapa orang pengamal dari Tulungagung .
Pengajian  kitab Al-Hikam yang dilaksanakan setiap malam Jum’at itu, atas usulan  dari para peserta yang menjadi Pegawai / Karyawan, dirobah menjadi hari  Minggu pagi sampai sekarang. Sebelum pengajian kitab Al-Hikam didahului  dengan Sholat Tasbih berjama’ah dan Mujahadah Sholawat Wahidiyah. Pada  suatu Pengajian kitab Al-Hikam  Beliau menjelaskan tentang “HAQIQOTUL  WUJUD” sampai pengertian dan penerapan “BIHAQIQOTIL MUHAMMA-DIYYAH” yang  dikemudian hari disempurnakan dengan penerapan “LIRROSUL-BIRROSUL”.  Pada saat itu tersusunlah Sholawat yang ke tiga yaitu :
| عَلَـِيْكَ نـُوْرَ الْخَلْقِ هَـادِيَ اْلأَنَامْ فَـقَــدْ ظَـلَـمْـتُ أَبـَدًا وَّرَ بّـنـِـىْ فـَإ ِنْ تـَرُدَّ كُـنْـتُ شَـخـْصًا هَالِكَا | * * * | يَاشَـافِـعَ الْخَلْقِ الصَّلاَة ُ وَالسَّلاَمْ وََأَصْــلَـهُ وَرُوْحَــه ُ أَدْرِكـْـــنــِى وَلَيـْــسَ  لِى يَا سَـيِّـدِىْ سِـوَاكـَا | 
Sholawat  yang ke tiga ini disebut “SHOLAWAT TSALJUL QULUB” (Sholawat salju hati /  pendingin hati). Nama lengkapnya “SHOLAWAT TSALJUL GHUYUUB LITABRIIDI  HAROROTIL-QULUUB” (Sholawat Salju dari alam ghoib untuk mendinginkan  hati yang panas).
Ketiga  rangkaian Sholawat tersebut diawali dengan surat Al-Fatihah, diberi  nama“SHOLAWAT WAHIDIYAH”. Kata “WAHIDIYAH” diambil sebagai tabarukan  (mengambil berkah) salah satu dari “ASMAUL HUSNA” yang terdapat dalam  Sholawat yang pertama, yaitu “WAAHIDU”, artinya “MAHA SATU”. Satu tidak  bisa dipisah-pisahkan lagi. Mutlak SATU AZALAN WA ABADAN. “SATU” bagi  Alloh tidak seperti “satu”-nya” makhluq.
Para  ahli mengatakan, bahwa diantara khowas (hasiat) AL-WAAHIDU, adalah  menghilangkan rasa bingung, sumpek, resah / gelisah dan takut. Barang  siapa membacanya 1000 kali dengan sepenuh hati dan khudlu’, maka dia  dikaruniai Alloh tidak mempunyai rasa takut / khawatir kepada makhluq,  di mana takut kepada makhluq itu adalah sumber dari segala balak /  bencana di dunia dan akhirat. Dia hanya takut kepada Alloh saja ! Barang  siapa memperbanyak dzikir “AL-WAAHIDU AL-AHAD” atau “YAA WAAHIDU YAA  AHADU” maka Alloh membuka hatinya untuk sadar bertauhid / memahaesakan  Alloh sadar Billah.
Diadakan  pertemuan / silaturrahmi yang diikuti oleh para ulama / kyai dan tokoh  masyarakat yang sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah dari Kediri,  Tulungagung, Blitar, Jombang dan Mojokerto bertempat di Langgar  (Musholla) Bapak KH. Abdul Jalil (Almar-hum) Jamsaren – Kediri.  Musyawarah tersebut dipimpin oleh Hadlrotul Mukarrom Muallif Sholawat  Wahidiyah sendiri. Diantara hasilnya adalah susunan redaksi / kalimat  yang ditulis di dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk garansi /  jaminan. Mengenai redaksi jaminan / garansi itu atas usulan dari Beliau  dan disetujui oleh seluruh peserta musyawarah. Redaksinya adalah :  “MENAWI SAMPUN JANGKEP 40 DINTEN BOTEN WONTEN PEROBAHAN MANAH, KINGING  DIPUN TUNTUT DUN-YAN WA UKHRON” -“Kedunglo Kediri”
Menjelang  peringatan ulang tahun lahir-nya Sholawat Wahidiyah yang pertama (EKA  WARSA) dalam bulan Muharram, Lembaran Sholawat Wahidiyah mulai dicetak  dengan klise yang pertama kalinya di kertas HVS putih sebanyak + 2500  lembar. Yang mengusahakan klise dan percetakan itu Bapak KH Mahfudz dari  Ampel-Surabaya, atas biaya dari Ibu Hj. Nur AGN (almarhumah), Surabaya.  Susunan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah yang dicetak adalah : Hadiah  fatihah, “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU…………..”, ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH  ………..……”, “YAA SYAAFI’AL KHOLQIS-SHOLAATU WASSALAAM ………” tanpa “YAA  SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH” dengan dilengkapi keterangan tentang cara  pengamalannya dan termasuk garansi tersebut di atas.
Setelah  lembaran Sholawat Wahidiyah dengan susunan di atas beredar secara luas,  disamping banyak yang menerima, juga ada yang menolak / mengontrasinya.  Kebanyakan alasan para pengontras adalah adanya garansi : Menawi sampun  jangkep sekawan doso dinten boten wonten perobahan manah, kenging dipun  tuntut dun-ya wa ukhro -“Kedunglo Kediri”. Mereka memberikan penafsiran  tentang garansi dengan pemahaman yang jauh bertentangan dengan makna  sebenarnya. Pemahaman mereka terhadap “garansi” menjadi : “Barang siapa  mengamalkan Sholawat Wahidiyah dijamin masuk surga”.
Sebenarnya  kalimat garansi / pertanggungjawaban tersebut merupakan suatu ajaran  atau bimbingan agar kita meningkatkan rasa tanggung jawab dengan segala  konsekwensi kita terhadap segala sesuatu yang kita lakukan; Bahasa  populernya “berani berbuat, berani bertanggung jawab”.
Setelah  pelaksanaan peringatan ulang tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama, di  Kedonglo diadakan Asrama Wahidiyah I yang diikuti para kyai dan tokoh  agama dari daerah Kediri, Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya,  Malang, Madiun dan Ngawi. Asrama ini dilaksanakan selama tujuh hari  tujuh malam. Kuliah-kuliah Wahidiyah diberikan langsung oleh Beliau  sendiri. Di dalam Asrama ini lahirlah kalimat nidak “YAA SAYYIDII YAA  ROSUULALLOOH”. Untuk melengkapi amalan Sholawat Wahidiyah yang telah  ada, kalimat nidak tersebut dimasukkan dalam lembaran Sholawat  Wahidiyah. Lembaran Sholawat Wahidiyah yang berisikan tiga rangkaian itu  beredar dengan tidak ada perubahan.
Di dalam Kuliah Wahidiyah yang Beliau sampaikan, antara lain Beliau  mnerangkan tentang GHOUTSUZ ZAMAN dengan panjang lebar. Pada saat itu  lahir dari kandungan Beliau : 
| يَآ أَيّـُـهَـا الْـغَوْثُ سَــــلا َمُ الله ْ | * | عَـلَــيْـكَ رَبـّـــِنيْ بِـإذْنِ الله | 
| وَانـْظـُرْ إِلـَىَّ سَـيّــدِىْ بِنَـظــْرَة ْ | * | مُـوْصِلَـةٍ لـّّلْحَـضْـرَةِ الْـعَـلِـيَّةْ | 
Amalan  tersebut merupakan suatu jembatan emas yang menghu-bungkan tepi jurang  pertahanan nafsu di satu sisi dan tepi kebahagiaan yang berupa kesadaran  kepada Alloh wa Rosuulihi, Shollalloohu ‘alaihi wasallam di sisi lain.  Para Pengamal Sholawat Wahidiyah menyebutnya “ISTIGHOTSAH”. Ini tidak  langsung dimasukkan ke dalam rangkaian Sholawat Wahidiyah dalam  lembaran-lembaran yang diedarkan kepada masyarakat. Tetapi para Pengamal  Wahidiyah yang sudah agak lama dianjurkan untuk mengamalkannya terutama  dalam mujahadah-mujahadah khusus.
Beliau memberi ijazah lagi berupa kalimat nida’ “ففروا الى الله dan وقــــل جــــاء الحـــــق   Kalimat  nidak ini pada saat itu juga belum dimasukkan dalam rangkaian  pengamalan Sholawat Wahidiyah, tetapi dibaca oleh imam dan makmum pada  akhir setiap do’a. Begitu juga “WAQUL JAA-AL HAQQU…” belum dirangkaikan  dengan “FAFIRRUU ILALLOOH” seperti sekarang. Tentulah ini suatu  kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah dan sirri-sirri yang  kita tidak mampu menguraikan, tegasnya kita tidak mengetahuinya.
Pada tahun 1968 lahir Sholawat :
| عَـلَى مُحَـمَّـدٍ شَـفِــيْـعِ اْلأُمَــمِ | * | يـَارَ بّـَنـَا اللـّــهُـمَّ  صَـلّ سَلّــِمِِ | 
| بـِالْـوَاحـِدِيـَّة ِلِـرَبّ الْـعَالَمِـيْن | * | وَاْلآلِِ وَاجْـعَـلِ اْلأَنـَـامَ مُسْـرِعِـيْن | 
| قَـرّبْ وَأَلّـِفْ بـَيْـنَـنَـا يـَارَبَّـــنَا | * | يـَارَبَّنَا اغــْفِرْ يَسّـِرافْتـَحْ وَاهْدِنـَا | 
Kemudian  “YAA AYYUHAL GHOUTSU….” dan Sholawat ini dima-sukkan ke dalam lembaran  Sholawat Wahidiyah yang diedarkan kepada masyarakat.
Pada tahun 1971, menjelang Pemilu di negara kita, lahirlah Sholawat :
| يَاشَافِـعَ الـْخَــلْقِِ حَبـِيـْبَ الله | * | صَـلاَتُـهُ عَـلَـيْكَ مَـعْ سَـلا َمِـهِ | 
| ضَلَّتْ وَضَـلَّّّتْ حِيْلَـتِـىفِىبَلْدَتِى | * | خُـذْ بِيَـدِىْ يَا سَـيّـِدِىْ وَاْلأُ مَّـةِ | 
| 
 | يَا سَـيّـِدِيْ   يَا رَسُـــوْلَ  الله | 
 | 
Kemudian  Sholawat ini dimasukkan ke dalam lembaran Sholawat Wahidiyah diletakkan  sesudah “YAA AYYUHAL GHOUTSU…” sebelum “YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI….”
Pada tahun 1972 Beliau menambah do’a : “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WA HAADZIHIL BALDAH” (belum ada kalimat “YAA ALLOOH”).
Pada tahun 1973 bacaan nida’ “FAFIRRUU ILALLOOH” dirangkaikan dengan “WAQUL JAA-AL HAQQU…” dan didahului dengan do’a :
بِسْـمِ  اللهِ الـَّرحْمــنِ الرَّحِـيْـم .اللّـهُـمَّ بـِحَـقّ اسْمِـكَ  اْلأَعْـظـَــمْ , وَبـِجَـاهِ سَــيّـِـدِنـَا مُحَـمَّـدٍ صَلـَّى الله  ُعَـلَـيْه ِوَسَـلـَّـمْ , وَبِـبَرَكَـةِ غـَــوْثِ هَـذَا الزَّمَـــانْ  وَأَعْوَانِـهِ وَسَـآئـِرِ أَوْلِيَـآئِكَ يـَآ أَلله , يـَآ أَللهْ ,  يـَآ آللهْ , رَضِىَ اللهُ تَعَالَىعَـنْـهُمْ × 3
بَـلّـِغْ جَـمِيْعَ الـْعَالَمِــيْنَ نـِدَآءَنـَا هَـذَا وَاجْــعَـلْ فِـيْـهِ تـَأْثِـــيْرًا بـَلِـيْغًـا ×3
فـَإِنـَّك َعَـلَى كُلّ شَـيْـئٍٍِ قَدِيـْـر, وَبِـاْلإِجَـابـَةِ جَدِيْـر ×3
فَـفِرُّوآ إِلَى الله ْ× 7
وَقُـلْ جَآءَ الْحَـقُّ وَزَهَـقَ الْـبَاطِلُط إِنَّ الْـبَاطِلَ كـَانَ زَهُـوْقًا × 3
Pada  saat itu pula mulai dilaksanakan nida’ “FAFIRRUU ILALLOOH” dengan  berdiri menghadap empat penjuru yaitu pada saat acara Mujahadah dalam  rangka peletakan batu pertama Masjid Desa Tanjungsari Tulungagung yaitu  Masjid KH. Zaenal Fanani.
Demikian  penambahan dan penyempurnaan Sholawat Wahidiyah secara berangsur  seirama dengan pengembangan dan penyempurnaan Ajaran Wahidiyah yang  diberikan oleh Hadhrotul Mukarrom Yai Muallif. Sholawat Wahidiyah sesuai  dengan kebutuhan situasi dan kondisi di dalam ummat masyarakat baik di  dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya  Beliau menambah do’a “ALLOOHUMMA BAARIK FII HAADZIHIL-MUJAAHADAH YAA  ALLOOH” yang diletakkan sesudah “ALLOO-HUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA  WAHAADZIHIL BALDAH”.
Seterusnya  ada tambahan dalam Sholawat Ma’rifat, yaitu sesudah bacaan  “WATARZUQONAATAMAAMA MAGHFIROTIKA” ditambah “YAA ALLOOH”. Demikian juga  setelah “WATAMAAMA NI’MATIKA” dan seterus-nya sampai “WATAMAAMA  RIDLWAANIKA” Jadi sebagaimana dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah sampai  sekarang.
Ditambahkan  doa “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAA-DZIHIL BALDAH” ditambah  “YAA ALLOOH”, dan doa “ALLOOHUMMA BAARIK FII HAADZI-HIL MUJAAHADAH YAA  ALLOOH” dirobah menjadi “WAFII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH”.  Sehingga rangkaiannya menjadi “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA  WAHAADZIHIL BALDAH YAA ALLOOH, WAFII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH”.
Lembaran  Sholawat Wahidiyah yang ditulis dengan huruf Al-Qur’an (huruf Arab)  diperbaharui dengan susunan yang sudah lengkap dengan disertai petunjuk  cara pengamalannya, Ajaran Wahidiyah dan keterangan tentang ijazah dari  Beliau secara mutlak. Susunan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah seperti  itu tidak ada perobahan hingga sekarang kecuali beberapa kalimat dalam  penjelasan keterangan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan  bahasa.
Demikian  secara kronologis atau urut, sejarah ringkas lahirnya Sholawat  Wahidiyah dari awal sampai penyempurnaan di setiap periode. Setiap  penyempurnaan sudah barang tentu memiliki sirri-sirri (rahasia) yang  kita tidak mengetahui secara pasti. Hanya ada sebagian dari Pengamal  Wahidiyah yang ditunjukkan sirri-sirrinya secara bathiniyah. Mari dalam  kesempatan ini kita sowan di haribaan Beliau dengan adab lahir batin yang sebaik-baiknya.
REDAKSIONAL
SHOLAWAT WAHIDIAH LENGKAP BESERTA ARTINYA: 
 ILAA HADLROTI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASSALAM, ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x) Di hadiyahkan ke haribaan Junjungan kami Kanjeng Nabi Besar Muhammad Shollallohu ‘alaihi Wasallam. Al-Fatihah
 ILAA HADLROTI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASSALAM, ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x) Di hadiyahkan ke haribaan Junjungan kami Kanjeng Nabi Besar Muhammad Shollallohu ‘alaihi Wasallam. Al-FatihahWA ILAA  HADLROTI GHOUTSI HAADAZ-ZAMAN WAA’AWAANIHI WASAAAIRI AULIYAAILLAAHI  RODLIYALLOOHU TA’AALA ‘ANHUM ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x) 
 Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi  Hadhazzaman, Para Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu  ta’alaa Anhum. Al-Fatihah
ALLOOHUMMA  YAA WAAHIDU YAA AHAD, YAA WAAJIDU YAA JAWAAD, SHOLLI WASALLIM WABAARIK  ‘ALAASAYYIDINAA MUHAMMADIW-WA’ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD. FII KULLI  LAMHATIW WA NAFASIM BI’ADADI MA’LUMAATILLAAHI, WA FUYU DHOTIHI WA  AMDAADIH. (100X) 
 Yaa Alloh, Yaa Tuhan Maha Esa, Yaa Tuhan  Maha Satu, Yaa Tuhan Maha Menemukan, Yaa Tuhan Maha Pelimpah,  limpahkanlah sholawat salam barokah atas junjungan kami Kanjeng Nabi  Muhammad dan atas keluarga Kanjeng Nabi Muhammad pada setiap kedipnya  mata dan naik turunnya napas sebanyak bilangan segala yang Alloh Maha  Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian dan kelestarian  pemeliharaan Alloh.

ALLOOHUMMA  KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA  WAMAULAANAA,WASYAFII’INAA,WAHABIIBINAA,WAQURROTI A’YUNINAA MUHAMMADIN  SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA  BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO  WALAA NASMA’A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA  NASKUNA ILLAA BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH,  WATAMAAMA NI’MATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH,  WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA RIDLWANIKA YAA ALLOH;  WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA’ALAA AALIHI WASHOHBIH. ‘ADADAMAA  AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA  ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL’AALAMIIN. (7X) 
 Yaa Alloh, sebagaimana keahlian ada  pada-MU, limpahkanlah sholawat salam barokah atas Junjungan kami,  Pemimpin kami, Pemberi Syafa’at kami, Kecintaan kami, dan Buah jantung  hati kami Kamjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi WaSallam yang  sepadan dengan keahlian Beliau, kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh,  dengan hak kemuliaan Beliau, tenggelamkanlah kami didalam pusat dasar  samudra ke-Esaan-MU sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan  mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, dan tiada kami bergerak  maupun berdiam, melainkan senantiasa merasa didalam samudra Tauhid-MU  dan kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, limpahilah kami ampunan-MU yang  sempurna Yaa Alloh, ni’mat karunia-MU yang sempurna Yaa Alloh, sadar  ma’rifat kepada-MU yang sempurna Yaa Alloh, cinta kepad-MU dan menjadi  kecintaan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ridho kepada-MU dan memperoleh  ridho-MU pula yang sempurna Yaa Alloh. Dan sekali lagi Yaa Alloh,  limpahkanlah sholawat salan dn barokah atas Beliau Kanjeng Nabi dan atas  keluarga dan sahabat Beliau sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh  Ilmu-MU dan termuat di dalam Kitab-MU, dengan Rahmat-MU Yaa Tuhan Yang  Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan segala puji bagi Alloh Tuhan seru  sekalian alam.

YAA SYAFI’AL-KHOLQISH-SHOLAATU WASSALAAM ” ‘ALAIKA NUUROL KHOLQI HAADIYAL ANAAM
WA ASHLAHUU WA RUUHAHU ADRIKNII ” FAQODH DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA ” FA-IN TARUDDA KUNTU SYAKHSON HAALIKAA (3x) 
 Duhai Kanjeng Nabi pemberi Syafa’at  makhluq Kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan ¨ Duhai Nur cahaya  makhluq , pembimbing manusia ¨ Duhai unsur dan jiwa makhluq,bimbing dan  didiklah diriku ¨ Maka sungguh aku manusia yang dholim selalu ¨ tiada  arti diriku tanpa engkau Duhai Yaa Sayyidii ¨ jika engkau hindari aku  (akibat keterlaluan berlarut-larutku), pastilah ‘ku ‘kan hancur binasa.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH  (7x) 
 Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH ” ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAAH
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH ” MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL’ALIYYAH. (3x)
 Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU  salam Alloh kuhaturkan ¨ Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh ¨  dan arahkan pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii ¨  radiasi batin yang mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku
YAA SYAAFI’AL-KHOLQI HABIIBALLOOHI ” SHOLAATUHUU’ALAIKA MA’SALAAMIHII,
DHOLLAT WA DHOLLAT HIILATII FII BALDATII ” KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATII  (3x)
 Duhai Kanjeng Nabi penberi Syafa’at  makhluq, duhai Kanjeng Nabi Kekasih Alloh ¨ Kepangkuan-MU sholawat dan  salam Alloh aku sanjungkan ¨ jalanku buntu, usahaku tak menentu buat  kesejahteraan negriku ¨ cepat, cepat, cepat raihlah tanganku Yaa  Sayyidii tolonglah diriku dan seluruh ummat ini.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH  (7x) 
 Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI SALLIMI ” ‘ALAA MUHAMMADIN SYAFII’IL UMAMI,
WAL-AALI WAJ-‘ALIL ANAAMA MUSRI’IIN ” BIL-WAAHIDIYYATI LIROBBIL-‘AALAMIIN
YAA ROBBANAGH-FIR YASSAIR IFTAH WAHDINAA ” QORRIB WA-ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA. (3x)
 Yaa Tuhan kami Yaa Alloh,  limpahkanlah Sholawat dan Salam ¨ atas Kanjeng Nabi Muhammad pemberi  Syafa’at ummat ¨ dan atas keluarga Beliau, dan jadikanlah ummat manusia  cepat-cepat lari, ¨ lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan  Semesta alam, ¨ Yaa Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami,  permudahkanlah segala urusan kami, bukalah hati dan jalan kami, dan  tunjukilah kami ¨ , pereratlah persaudaraan dan persatuan diantara kami,  Yaa Tuhan kami. 
ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH YAA ALLOH, WA FII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOH ! (7X)
 Yaa Alloh limpahkanlah  berkah didalam segala makhluq yang engkau ciptakan, dan didalam negri  ini Yaa Alloh, dan didalam mujahadah ini Yaa Alloh 
I S T I G H R O O Q
( Diam tidak membaca apa-apa, segenap perhatian lahir bathin, fikiran  dan perasaan dipusatkan hanya kepada ALLOH! Tidak ada acara selain ALLOH  )
AL FAATIHAH
(1 X) Kemudian berdo’a seperti di bawah ini

BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM,
ALLOOHUMMA  BIHAQQISMIKAL A’DHOM WABIJAAHI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOHU  ‘ALAIHI WASALLAM WABIBARAKATI GHOUTSI HADZAZ-ZAMAAN WA A’WAANIHI WA  SAAIRI AULIYAAIKA YAA ALLOH, YAA ALLOH, YAA ALLOH, RODLIYALLOOHU  TA’AALA’ANHUM 3X
 Dengan Nama Alloh Yang  Maha Pengasih lagi Maha Penyayang( Yaa Alloh, dengan hak kebesaran  Asma-MU, dan dengan kemuliaan serta keagungan Kanjeng Nabi Mahammad  Sollallohu ‘Alaihi WaSallam, dan dengan Barokahnya Ghoutsu Hadhaz Zaman  wa A’wanihi serta segenap Auliya’ Kekasih-MU Yaa Alloh, Yaa Alloh  Rodiyallohu Ta’ala Anhum
BALLIGH JAMII’AL ‘ALAMIIN NIDAA-ANAA HAADZAA WAJ’AL FIIHI TAKTSIIROM-BALIIGHOO 3X 
 Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al Alamin dan letakkanlah kesan yang sangat mendalam 
FAINNAKA ‘ALAA KULLI SYAI-INGQODIIR WABIL IJABATI JADIIR 3X
 Maka sesungguhnya engkau Maha Kuasa berbuat segala sesuatu dan Maha Ahli memberi ijabah 
FAFIRRUU ILALLOOH (7X) = Larilah kembali kepada Alloh ! 
WAQUL JAA-ALHAQQUWAZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA ZAHUUQOO  (3X)
 Dan katakanlah (wahai  Muhammad) perkara yang hak telah datang dan musnahlah perkara yang  batal, sesungguhnya perkara yang batal itu pasti musnah.Al-Fatihah (  membaca surat Al-Fatihah satu kali ) 
FAFIRRUU ILALLOH dan WAQUL JAA-ALHAQQU
 dibaca bersama-sama imam dan ma’mum. Maknanya : Larilah kembali kepada  Alloh ! Dan semoga akhlaq=akhlaq batal yang rusak dan merusakkan segera  diganti oleh Alloh dengan akhlaq yang baik dan yang menguntungkan! Kedua  ajakan tersebut ditujukan kepada segenap masyarakat manusia dan jin  seluruh dunia, terutama ditujukan kepada pribadi si pembaca sendiri.
A L  F A A T I H A H (1X)
S e l e s a i