IBRAHIM IBN ADHAM
KI WONGALUS SAYA SUDAH MENGAMALKAN ASMAK, TAPI APAKAH ASMAK ITU SUDAH MENYATU DALAM DIRI SAYA DAN ADA POWERNYA?
“Apa maumu” tanya Ibrahim.
“Aku baru saja tiba di penginapan ini,” ujar lelaki itu.
“Ini bukan penginapan. Ini istanaku. Kau gila,” teriak Ibrahim.
“Siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” tanya lelaki itu.
“Ayahku,”jawab brahim.”
Dan sebelumnya?”
“Kakekku?”
“Dan sebelumnya?”
“Buyutku.”
“Dan sebelumnya?”
“Ayah dari buyutku.”
“Ke mana mereka semua pergi?” tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.
“LaIu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, di mana seseorang masuk dan yang lainnya pergi?”
Akhirnya Ibrahim berkata, “Pasang pelana kudaku. Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah kualami hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ini akan berakhir?”Pelana kudanya dipasang, dan ia pun pergi berburu. Sejurus kemudian, ia memacu kudanya melintasi padang pasir; sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan bingung, ia terpisah dari para Pengawalnya. Di tengah perjalanan, tiba tiba ia mendengar sebuah suara, “Bangunlah, sebelum engkau tidak mampu bangun!”Ia berpura pura tidak mendengarnya dan terus memacu kudanya.
Untuk kedua kalinya suara itu terdengar lagi, tapi ia tidak menghiraukannya. Kali yang ketiga, ia mendengar suara yang sama, ia pun pergi menjauh. Kemudian, suara itu kembali terdengar untuk keempat kalinya, “Bangunlah, sebelum engkau tak mampu bangun!”Kali ini ia kehilangan kendali dirinva. Tiba tiba ia melihat seekor rusa muncul, dan Ibrahim pun Membidiknya. Rusa itu berbicara pada Ibrahim, “Aku diutus untuk mencarimu. Engkau tak dapat menangkapku. Untuk inikah engkau diciptakan, ataukah ini yang diperintahkan kepadamu?””Ah, apa yang, kualami ini?” tukas Ibrahim. Ibrahim pun memalingkan wajahnya dari rusa itu. Kemudian ia mendengar kata kata yang sama keluar dari bagian depan pelana kudanya. Rasa takut dan ngeri menguasai dirinya.
Kemudian pesan Ilahi itu menjadi lebih jelas, karena Allah Yang Maha kuasa berkehendak untuk menyempurnakan komunikasi itu. Untuk ketiga kalinya, suara yang sama keluar dari kerah bajunya. Pesan ilahiah itu pun sempurna, dan surga terbuka baginya. Kini keimanan merebak di dalam diri Ibrahim. Ibrahim turundari kudanya; pakaian dan kudanya basah terkena tetes air matanya.
Ibrahim pun bertobat dengan sebenar benarnya dan tulus. Ia melangkah ke tepi jalan, kemudian ia melihat seorang gembala yang mengenakan pakaian dari penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan, menggembalakan domba dombanya. Ibrahim melihat lebih dekat, dan menyadarinya bahwa gembala itu adalah budaknya. Ibrahim memberikan jubahnya yang bersulam emas dan mahkotanya yang bertahtakan permata kepada gembala itu, juga sekalian dengan domba dombanya. Sedangkan Ibrahim mengambil pakaian dan penutup kepala gembala itu, dan itu ia pakai sendiri. Semua malaikat berdiri memandang Ibrahim.”Betapa agungnya kerajaan yang kini dimiliki Ibnu Adham,” ujar mereka. “Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”
Suatu malam, para sahabat sufi-nya berkata, “Ibrahim, selalu datang telat. Ayo, kita makan roti dan pergi tidur. Itu akan menjadi isyarat bagi Ibrahim agar ia kembali lebih awal di kemudian hari. Agar ia tidak lagi membiarkan kita menunggu begitu lama.”Mereka pun melakukan hal itu. Ketika lbrahim kembali, ia melihat para sahabatnya tertidur. Ia mengira mereka belum makan apa-apa dan tidur dalam keadaan lapar. Ibrahim pun segera menyalakan api. Ia membawa sedikit tepung, maka ia membuat adonan untuk dibuat makanan agar para sahabatnya punya sesuatu untuk dimakan ketika mereka bangun, sehingga mereka sanggup untuk berpuasa di siang harinya. Para sahabat Ibrahim bangun dan melihatnya dengan jenggotnya di atas tanah, sedang meniup api; air matanya bercucuran, dan ia dikelilingi oleh asap.”Apa yang sedang engkau lakukan?” mereka bertanya.”Aku melihat kalian tertidur,” Ibrahim menjawab. “Aku berkata dalam hati, mungkin kalian tidak memiliki apa-apa untuk dimakan dan tidur dalam keadaan lapar. Maka aku pun membuatkan sesuatu untuk kalian makan setelah kalian bangun.”
“Lihatlah bagaimana dia berpikir tentang kita, dan bagaimana kita berpikir tentang dia,” ujar mereka.
Berbulan bulan mengembara, sambil berkhalwat Ibrahim pun mulai memberikan pegajaran-pengajaran melalui hikmah yang ditemukannya selama dalam perjalanan. Suat ketika dia tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana pun mencari gua untuk dijadikan tempat menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya semakin dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.
Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.
Satu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam.
“Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam,” tegumya.
“Aku belum pernah merasakannya, Tuan,” jawab Ibrahim.
Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya.
“Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding kamu.”
“Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi,” jawabnya. Dia pun dipecat, lalu pergi.
Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. “Apa engkau tidak mencuri selain itu?” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu,” tegas Ibrahim.
Tukang kebun yang baru lantas berujar, “Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud.” Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, “Celaka, aku telah menyia-nyiakan seseorang yang memiliki nama besar dan kekayaan ilmu yang belum pernah aku temui sebelumnya.”
Syahdan, perjalanan Ibrahim Ibnu Adham sudah hampir masuk ke wilayah Kota Makkah. Ternyata berita kedatangannya sudah didengar oleh para pemimpin dan ulama Mekkah, dan mereka bersama sama menunggu. Sayangnya, tak seorang pun yang mengenali wajah Ibrahim sebelumnya.
Saat itu para penjaga kota Mekkah diutus untuk menunggu kedatangan sang sufi Ibrahim Ibn Adham. Hari yang ditunggu-tunggu datanglah. Ibrahim datang berjalan kaki menggunakan pakaian pengemis yang sangat kotor dengan wajah yang susah dikenali. Bertanyalah penjaga kota Mekkah kepada pengemis tersebut. “Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?”
Pengemis yang tak lain Ibrahim Ibn Adham pun menjawab: “Untuk apa kamu menanyakan si ahli bidah itu?”
Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, Penjaga kota mekkah marah bukan main karena merasa ada seseorang yang menginjak harga diri seorang ulama besar rajanya kaum sufi. Penjaga tersebut memukuli Ibrahim berulangkali dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah.
Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, “Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim pun masuk ruang penyiksaan dan disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung.
Apakah Ibrahim sedih? Ternyata tidak sama sekali. Dalam hatinya ia Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini.”
Banyak momentum spiritual didapatkan Ibrahim ibn Adham ketika dirinya direndahkan orang, dipukuli, disiksa sehingga dia bisa mengetahui kekeliruan dan inilah saatnya untuk memperbaiki diri. Kesendiriannya membawanya kepada rasa bersalah dan memohon ampun kepada Allah SWTm menebus segala kesalahan dan kelalaian. Fakta yang buruk mengajarkan keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang tak ternilai harganya.
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “Jika kamu mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, maka aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Mendengar jawaban laki-laki tersebut gembira dan dengan penuh rasa ingin tahu yang besar dia bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak (Ibrahim ibn Adham)?”
“Syarat pertama, jika kau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rizki Allah”, ujarnya.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rizki Allah?”
“Benar”, jawab ibrahim tegas. “Bila kau telah mengetahuinya, masih pantaskah kau memmakan rizki-Nya sementara kau terus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintah-Nya?”
“Baiklah…”, jawab lelaki itu tampak menyerah, “Kemudian apa syarat yang kedua?”
“Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya”, kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua ini membuat jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar. Karena itu pikirkahlah baik-baik. Apakah kau masih pantas memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya sementara kau terus berbuat maksiat?”, tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak”, ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat yang ketiga?”, tanyanya dengan penasaran.
“Kalau kau masih juga bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang terembunyi agar tidak terlihat oleh-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasehat macam apakah semua ini? Mana mungin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rizkNya, tinggal di buminya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan semua itu?”, tanya Ibrahim kepada lelaki yang masih tampak membisu itu. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabiah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat yang keempat?”
“Jika malaikatul maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertobat dan melakukan amal shaleh.”
“Ya Abdallah (hamba Allah), bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasehat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!”
Lelaki yang ada di hadapan Ibrahim bin Adham itu tampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasehatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal, ia berkata, “cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah”.
Lelaki itu memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyuk.
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada 10 hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.
1. Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.
2. Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
3. Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.
4. Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.
5. Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
6. Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
7. Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.
8. Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.
9. Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
10. Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”
Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya kenapa ia menangis. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”
Pernah suatu hari beliau ditanya, “kenapa kamu keluar dari istana menjadi fakir miskin dan bekumpul dengan manusia miskin lainnya?”. Ibrahim Bin Adham tidak langsung menjawab, beliau diam sejenak lalu menjawab, “saya ingin memegang agamaku erat-erat dan menaruhnya di antara dadaku, saya lari membawa agamaku dari satu negara ke negara yang lain, siapapun yang melihat pasti ia mengira bahwa saya seorang pengembala atau orang gila, semuanya saya lakukan hanya untuk menjaga agamaku dari gangguan setan yang terkutuk. Saya ingin membawa imanku menuju keselamatan hingga menemui ajal”.
1. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kenikmatan dan membuka pintu gerbang kesulitan.
2. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kemasyhuran dan membuka pintu gerbang kehinaan
3. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang hidup santai dan membuka pintu gerbang kerja keras
4. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang tidur dan membuka pintu gerbang jaga tengah malam
5. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kekayaan dan membuka pintu gerbang kemiskinan
6. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang cita-cita dan membuka pintu gerbang kesiapan menghadapi mati.
Seorang raja kaya dengan istananya yang megah gemilang. Kemegahannya saat itu belum ada yang menandinginya. Meskipun hidup bergelimang harta dan kekuasaan tidak membuat hati beliau lalai. Bahkan beliau terkenal sebagai orang yang taat beribadah dan sangat penyantun terhadap sesama terlebih kepada orang-orang miskin di negerinya. Setiap Jum’at dikumpulkan para fakir miskin di depan istananya dan ditaburkannya uang dirham ke halaman istana. Ia juga gemar memberi hadiah bagi orang-orang yang dianggap berjasa serta memberi zakat dan shadaqah jariyah pada hari-hari tertentu. Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya pernah bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?” “Aku pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”…