KI JURU ANGON
Kami sering menemui banyak orang yang mengumpamakan syari’at dan hakikat dengan kulit dan isinya atau dengan lingkaran dan titik pusatnya. Syari’at mencakup aspek i’tiqadi (keyakinan), hukum dan aspek sosial-kemasyarakatan, yang kesemuanya tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. Syari’at adalah pintu pertama yang harus dimasuki oleh orang yang mau menempuh jalan tasawuf. Sedangkan hakikat pada dasarnya adalah pengetahuan atau ma’rifat semata. Namun demikian, anda harus mengetahui bahwa ma’rifat inilah yang membuat syari’at memiliki maknanya yang lebih mendalam. Hakikat memberi nilai tambah bagi eksistensi syari’at. Sebenarnya, hakikat – meskipun tidak disadari oleh kebanyakan orang mu’min – adalah “titik pusat”, jika kita umpamakan dengan titik tengah lingkaran.
Syari’at memerintahkan untuk melaksanakan ibadah, sedangkan hakikat mengajarkan tentang penyaksian rubbubiyyah. Syari’at tanpa didukung oleh hakikat tidak akan diterima, begitu juga hakikat tanpa syari’at tidak akan berhasil dicapai. Syari’at diturunkan untuk mengatur makhluk, sedangkan hakikat memberitahu tentang “perbuatan” Allah Swt. Dengan syari’at, engkau menyembah-Nya dan dengan hakikat, engkau menyaksikan-Nya. Syari’at adalah melaksanakan apa yang Allah Swt perintahkan, sedangkan hakikat menyaksikan apa yang oleh Allah Swt telah ditentukan, disembunyikan dan dinampakkan. Saya pernah mendengar Syiekh Abu ‘Ali al-Daqaq berkata: “Bahwa perkataan iyyaka na’budu adalah manifestasi dari syari’at, sedangkan perkataan iyyaka nasta’in sebagai perwujudan dari hakikat. Ketahuilah bahwa syari’at juga merupakan hakikat, karena syari’at wajib ditaati oleh hakikat. Hakikat juga merupakan syari’at, karena semua ma’rifat tentang-Nya diwajibkan dalam syari’at. Lihat al-Risalah al-Qusyairiyah.
Namun demikian, “batin” tidak hanya hakikat semata tetapi juga mencakup jalan yang bisa membawa kepada hakikat tersebut, yakni tarekat yang bisa mengantarkan seseorang dari syari’at menuju hakikat. Jika kita kembali pada gambar simbolis yang berupa lingkaran dan titik pusatnya, maka tarekat bisa diumpamakan dengan garis yang menghubungkan tepi lingkaran dan titik pusatnya. Semua titik yang ada pada tepi lingkaran adalah awal permulaan garis. Garis-garis ini, yang tidak terbatas jumlahnya, semuanya berakhir pada satu titik pusat yang sama. Itulah tarekat, yang bisa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia, sehingga ada yang mengatakan bahwa “Jalan-jalan menuju Allah Swt itu sebanyak nafas anak Adam”.
Meskipun jalan-jalan itu berbeda satu sama lain, tetapi tujuannya adalah sama, yakni satu titik yang sama, hakikat yang sama. Perbedaan-perbedaan yang ada pada titik permulaannya, satu persatu mulai hilang. Pada saat seorang salik sampai pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, maka hilanglah sifat-sifat kehambaannya (eksistensi dirinya) – yang pada dasarnya bagaikan penjara bgi ruhaninya. Dia mengalami fana’ atau kehilangan eksistensi dirinya. Yang ada sekarang adalah sifat-sifat rabbani dalam dirinya.
Tarekat dan hakikat adalah dua hal yang menandai tasawuf. Tidak ada madzhab tertentu dalam tasawuf, karena hakikat itu bersifat mutlak. Begitu juga tidak ada aliran tertentu dalam tarekat, karena semua jalan itu menuju pada satu hakikat mutlak, yakni tauhid yang satu. Perlu dicatat, bahwa seorang sufi tidak mungkin mengaku bahwa dirinya seorang sufi, kecuali dia seorang yang bodoh. Dengan mengaku sebagai seorang sufi justeru semakin jelas bahwa dirinya pada hakikatnya adalah bukan seorang sufi. Ini adalah suatu rahasia antara seorang sufi yang sebenarnya dengan Tuhannya. Seseorang hanya diperbolehkan untuk mengaku sebagai seorang mutashawwif, yang merupakan sebutan umum bagi seorang salik pada tingkatan apapun. Sebutan sufi dalam pengertian yang hakiki tidak bisa dilekatkan pada seseorang kecuali ia telah sampai pada tingkatan yang tertinggi.
Mengenai asal usul kata (الصوفي) telah terjadi berbagai perbedaan pendapat. Masing-masing mengemukakan argumentasinya, tetapi tidak ada yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semuanya tidak bisa diterima. Sesungguhnya, kata (الصوفى) sebenarnya hanyalah sebutan simbolis saja. Jika kita ingin mengurai maknanya, maka sebaiknya kita berpegang pada “nilai bilangan” dari huruf-huruf penyusun kata tersebut. Yang jelas, bahwa nilai bilangan dari huruf-huruf pembentuk kata (الصوفى) sebanding dengan nilai bilangan dari huruf-huruf pembentuk kata (الحكيم الالهى). Oleh karena itu, seorang sufi sejati adalah seseorang yang telah sampai pada al-hikmah al-Ilahiyah (pengetahuan tertinggi tentang Tuhan). Dia lah yang al-‘arif billah (yang benar-benar mengetahui atau ma’rifat kepada Allah Swt), karena Allah Swt tidak bisa diketahui kecuali dengan al-hikmah al-Ilahiyah tersebut. Itulah pengetahuan tingkat tertinggi, ma’rifat hakiki atau pengetahuan sejati.
Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang “ditempelkan” pada agama Islam. Tasawuf bukanlah sesuatu yang berasal dari luar Islam. Sebaliknya, tasawuf adalah bagian paling substantif dari agama Islam. Islam tanpa tasawuf akan menjadi kurang maknanya, yakni kurang dalam hal ketinggiannya, karena tasawuf berbicara tentang “titik pusat”. Oleh karena itu, adalah keliru, jika ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari tradisi di luar Islam, seperti Yunani, India maupun Persia. Pendapat-pendapat tersebut bertentangan dengan istilah tasawuf itu sendiri yang memiliki keterkaitan erat dengan bahasa Arab. Jika ada persamaan antara tasawuf dengan sesuatu yang menyerupainya dalam budaya atau tradisi lain, maka itu adalah hal yang wajar, dan tidak perlu dianggap bahwa tasawuf “meminjam” unsur non Islam. Hal ini karena, selama hakikat itu bersifat tunggal, maka substansi semua aqidah adalah satu juga, meskipun berbeda bentuk luarnya.
Kita tidak perlu memberikan perhatian yang lebih untuk mendiskusikan asal-usul kata tasawuf, yang ternyata terus berlanjut di kalangan sejarawan tasawuf, khususnya tentang kapan kepastiannya kata tasawuf itu mulai ada. Kadangkala sesuatu itu telah ada sebelum ia memiliki nama atau sebutan yang khusus untuknya. Adakalanya sesuatu itu telah ada dengan nama yang lain dan adakalanya juga sesuatu itu tidak perlu untuk dinamai. Oleh karena itu, penjelasan yang benar persoalan tersebut adalah sebagai berikut;
Sesungguhnya sunnah telah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa syari’at dan hakikat bersumber langsung pada ajaran Rasulullah Saw, dan pada kenyataannya, semua tarekat yang benar berpegang teguh pada silsilah (mata rantai) yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Sesungguhnya tasawuf berasal dari Arab-Islam, sebagaimana dengan al-Qur’an – yang menjadi sumber langsung ajaran tasawuf – juga Arab-Islam. Jika tasawuf melandaskan ajaran-ajarannya pada al-Qur’an, maka bisa dipastikan bahwa tasawuf belum diketemukan sebelum al-Qur’an difahami, ditafsiri dan direnungkan. Dari al-Qur’an lah memancar sumber kebenaran atau hakikat yang pada kenyataannya adalah makna terdalam dri al-Qur’an itu sendiri. Pertama kali, al-Qur’an ditafsirkan dari tinjauan bahasa dan logika. Sedangkan tafsir al-Qur’an yang bersifat sufistik, yang merenungkan makna al-Qur’an secara mendalam dan komprehensip, membutukan waktu yang lama. Jika al-Qur’an adalah sumber syari’at dan hakikat, maka antara syari’at dan hakikat tidak ada pertentangan apapun. Bagaimana mungkin keduanya bisa bertentangan, sedangkan sumbernya adalah satu? Bagaimana terjadi pertentangan, sedangkan hakikat harus berdiri di atas syari’at?
TASAWUF DAN GUGURNYA KEWAJIBAN SYARI’AT
Oleh: Syeikh Abdul Halim Mahmud (Mantan Rektor al-Azhar Mesir)
Alih bahasa: Juru Angon
Kita sering menemukan adanya provokator dalam setiap bidang kehidupan, baik dalam bidang keagamaan, politik, keilmuan bahkan dalam bidang tasawuf itu sendiri. Tujuan para provokator tersebut sangat jelas, yakni memperoleh keuntungan materiil dengan jalan pintas. Agar agama, ilmu pengetahuan maupun tasawuf tidak menjadi suatu yang disalahfahami, maka kita perlu menjelaskan bagaimana para provokator menyembunyikan wajahnya.
Agama dan ilmu pengetahuan memiliki kebenaran dan karakteristiknya sendiri yang sangat jelas, sehingga bisa menjadi “alat ukur” untuk mengungkap berbagai kebohongan dan kebatilan yang telah dilontarkan oleh para pendusta. Begitu juga dengan tasawuf.
Kami kemukakan hal di atas, karena berkaitan dengan apa yang pernah kami dengar berkaitan dengan adanya bid’ah dlalalah (bid’ah yang sesat) yang telah meresap dalam sebagian hati orang-orang yang belum mendalami agama secara khusus dan tasawuf secara umum.
Bid’ah ini memandang bahwa seseorang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat tertentu, ia dibebaskan dari kewajiban syari’at, sehingga ia boleh meninggalkan shalat, zakat, haji dan lain-lain yang telah menjadi kewajiban seorang muslim.
Ironisnya, pandangan tersebut pertama kali dimunculkan oleh mereka yang menggeluti bidang hukum dan syari’at. Mereka mengaku bahwa dirinya telah sampai pada tingkat ma’rifat tasawuf yang tertinggi dan sampai pada satu kondisi yang menurut anggapan mereka sudah tidak diwajibkan lagi menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at.
Ketika saya melacak sumber “ma’rifat” mereka, maka anda pasti akan sangat heran, karena sumber pengetahuan mereka tidak lain adalah ruh-ruh yang sengaja mereka hadirkan – yang menurut mereka – melalui perantaraan tubuh seseorang. Ruh-ruh tersebut memberikan informasi kepada mereka mengenai berbagai persoalan ghaib dan lain-lain.
Perbuatan bid’ah yang berupa “menghadirkan ruh” telah bgitu tersebar dan populer di kalangan mereka. Kegiatan tersebut telah menjadi “agama” mereka. Dalam pandangan mereka, informasi yang diberikan ruh tersebut mengalahkan kedudukan al-Qur’an dan Sunnah.
Lebih ironis lagi, mereka justeru mengaku sebagai pengamal ajaran tasawuf. Mereka menganggap diri mereka sebagai tokoh sufi, orang ‘arif dan orang yang memperoleh ilham. Bahkan ada yang sudah keterlaluan karena mengaku sebagai seorang wali. Ada juga yang mengaku sebagai seorang rasul. Bahkan ada yang berani mengaku bahwa dirinya adalah Isa (‘alaihi salam), kemudian ada juga yang mengaku sebagai Nabi Muhammad Saw.
Yang lebih keterlaluan lagi, ada yang bahwa “kemanusiaan” yang ada dalam dirinya telah lenyap dalam sekejap, kemudian mengaku kepada para pengikutnya bahwa “Tuhan telah menyatu dengan dirinya”. Semua pengakuan orang tersebut selalu diperkuat dan didukung oleh ruh yang dihadirkannya. Ruh tersebut selalu membenarkan apa yang dikatakan orang tersebut. Maha benar Allah Swt, karena Dia memberikan perumpamaan tentang orang yang berhubungan dengan jin dan berpaling dari jalan kebenaran.
“Dan ada beberapa orang laki-laki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” Qs. Al-Jin; 6).
Mungkin anda akan bertanya: “Apakah ada hubungan antara menghadirkan ruh dengan tasawuf?” Jawaban ahli tasawuf tentang hal itu sangat jelas, bahwa antara menghadirkan ruh dengan tasawuf sama sekali tidak memiliki keterkaitan, justeru sebaliknya, keduanya saling bertentangan. Para ahli tasawuf menganggap bahwa menghadirkan ruh termasuk perbuatan pembodohan, karena hal itu sama saja dengan bekerja sama dengan jin dan syaitan. Allah Swt berfirman tentang hal itu.
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta” (Qs. Al-Syu’ara; 221-223).
Allah Swt juga berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” (Qs. Al-Zuhruf; 36-37).
Tujuan tulisan kami di sini hanyalah untuk menjelaskan pandangan tasawuf tentang “gugurnya kewajiban-kewajiban syari’at”. Persoalan ini sering dianggap bukan sebagai sesuatu yang bid’ah (mengada-ada) oleh mereka yang mengaku sebagai orang sufi di era modern ini. Sesungguhnya, persoalan tersebut merupakan kesesatan yang telah ada sejak lama dan telah muncul di tengah-tengah masyarakat, kemudian dianggap sebagai salah satu dasar ajaran tasawuf. Suatu anggapan yang sangat keliru dan ditentang oleh tokoh-tokoh sufi yang sejati kapanpun dan di manapun mereka berada.
Yang pasti, jika ada beberapa problem atau permasalahan, maka yang menjadi rujukan dalam penyelesaiannya adalah mereka yang benar-benar menguasai bidang permasalahan tersebut. Oleh karena itu, ketika kami merujuk pada tokoh-tokoh tasawuf yang tidak lagi diragukan kredibilitasnya, baik mereka yang hidup di masa lalu maupun di era modern sekarang ini, semuanya sangat mengingkari dan menentang pendapat di atas. Mereka menganggap bahwa gagasan tentang “gugurnya kewajiban syari’at” merupakan gagasan atau pendapat yang menyesatkan, penuh kebohongan dan tidak sejalan dengan ajaran agama secara umum.Kami akan membicarakan tentang pendapat sebagian ahli tasawuf klasik mengenai persoalan tersebut.
Abu Yazid al-Busthami pernah berkata kepada salah seorang temannya: “Marilah kita sama-sama melihat seorang lelaki yang mengaku dirinya sebagai seorang wali” – dan dia memang dikenal ke-zuhud-annya. Kemudian, ketika laki-laki tadi keluar dari rumahnya dan memasuki masjid, dia membuang ludahnya ke arah kiblat. Melihat kejadian tersebut, Abu Yazid langsung bergegas meninggalkannya dan tidak memberi salam kepadanya, lalu beliau berkata: “Laki-laki tadi tidak bisa mengamalkan akhlaq Rasulullah Saw, bagaimana mungkin pengakuannya (sebagai seorang wali) bisa dipercaya?”
Abu Yazid al-Busthami juga pernah berkata: “Kalian jangan tertipu, jika kalian melihat seseorang yang memiliki karamah -meski dia bisa terbang di udara-, sampai kalian melihat bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt, menjaga dirinya dari hudud (hukum pidana Allah Swt) dan bagaimana dia melaksanakan syari’at Allah Swt.”
Sahl al-Tusturi mengatakan tentang pinsip-prinsip dasar tasawuf: “Dasar-dasar tasawuf itu adalah tujuh, yaitu berpegang teguh pada al-Qur’an; meneladani Sunnah Nabi Muhammad Saw; memakan makanan yang halal; menahan diri dari menyakiti (orang lain); menjauhi maksiyat; senantiasa bertaubat; dan memenuhi segala yang telah menjadi kewajibannya”.
Al-Junaid, seorang tokoh dan Imam para sufi, berkata – sebagaimana dikutip oleh al-Qusyairi: “Barang siapa yang tidak menghafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka janganlah ia mengikuti jalan tasawuf ini, karena ilmu kami ini berasal dari dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah.” Beliau menambahkan: “Ilmu kami ini selalu diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw”. Beliau juga berkata: “Pada dasarnya jalan tasawuf itu tertutup bagi semua orang, kecuali bagi mereka yang memilih jalan yang ditempuh Rasulullah Saw, mengikuti sunnahnya dan terus tetap berada di jalannya.”
Pernah ada seorang laki-laki yang menuturkan tentang ma’rifat di hadapan al-Junaid dengan berkata: “Ahli ma’rifat kepada Allah Swt akan sampai pada satu kondisi dimana ia bisa meninggalkan perbuatan baik apapun dan ber-taqarrub¬ kepada Allah Swt”. Mendengar perkataan orang tersebut, al-Junaid berkata: “Itulah pendapat sekelompok orang yang menyatakan tentang ‘gugurnya amal perbuatan’, dan hal ini, menurutku, merupakan suatu kesalahan atau dosa yang sangat besar. Bahkan orang yang mencuri dan bezina masih lebih baik keadaannya daripada orang yang mengatakan pendapat tersebut”.
Jika kita menengok pada Imam al-Ghazali, maka kita akan melihat bahwa beliau menyatakan pendapatnya dengan tegas, jelas dan kuat argumentasinya. “Ketahuilah, bahwa orang yang menempuh perjalanan menuju Allah Swt itu sangat sedikit jumlahnya, namun mereka yang mengaku-aku sangat banyak jumlahnya. Kami ingin anda mengetahui seorang salik yang sebenarnya, antara lain; semua amal perbuatannya yang bersifat ikhtiyari selalu selaras dengan aturan-aturan syari’at, baik keinginannya, aktualisasinya maupun performansinya. Karena tidak mungkin bisa menmpuh jalan tasawuf, kecuali setelah ia benar-benar menjalankan syari’at. Tidak ada orang yang akan sampai (pada tujuan tasawuf), kecuali mereka yang selalu mengamalkan amalan-amalan sunah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seseorang yang meremehkan kewajiban-kewajiban syari’at bisa sampai (pada tujuan tasawuf tersebut)?”
Jika anda bertanya: “Apakah kedudukan salik akan sampai pada suatu tingkatan di mana ia boleh meninggalkan sebagian yang menjadi kewajiban syari’atnya dan atau melakukan sebagian perbuatan yang dilarang oleh syari’at, sebagaimana pendapat sebagian syeikh yang menggampangkan persoalan tersebut?”
Jawabanku: “Ketahuilah, bahwa pendapat tersebut merupakan bentuk tipuan dan kebohongan yang nyata, karena orang-orang sufi sejati mengatakan: ‘Jika engkau melihat seseorang yang dapat terbang di atas udara dan berjalan di atas air tetapi dia melakukan satu hal yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah bahwa dia adalah syaitan’.”
Selanjutnya, kita sampai pada pendapat Abi Hasan al-Syadzali yang mengatakan: “Jika kasyf-mu bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka berpeganglah kepada al-Qur’an dan Sunnah dan abaikanlah kasyf-mu itu, lalu katakan pada dirimu sendiri; sesungguhnya Allah Swt telah memberikan jaminan tentang kebenaran al-Qur’an dan Sunnah kepadaku, tetapi Allah Swt tidak memberikan jaminan kepadaku tentang kebenaran kasyf, ilham dan musyahadah kecuali setelah dikonfirmasikan dengan al-Qur’an dan Sunnah”.
Orang-orang sufi mengikuti semua petunjuk yang berupa nash al-Qur’an dan Sunnah, baik Sunnah qauliyah (perkataan Nabi) maupun Sunnah ‘amaliyah (perbuatan Nabi). Mereka pasti sangat menyadari akan kebenaran sejarah bahwa Rasulullah Saw adalah contoh ideal dalam segala hal hingga akhir hayatnya.
Itulah beberapa pendapat dari kalangan sufi klasik. Sebagai penutup, kami kutipkan sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Beliau pernah ditanya tentang sekelompok orang yang meninggalkan amal perbuatan atau kewajiban agama, tetapi mereka ber-husnu al-dzan (berprasangka baik) kepada Allah Swt. Rasulullah Saw menjawab: “Mereka itu bohong, kalau mereka itu berprasangka baik, tentu baik pula amal perbuatan mereka”.
RENUNGAN WALIYULLAH (BAGIAN KEDUA)
Assalamu’ alaikum Wr. Wb. Warga Kampus Wong Alus yang berbahagia. Dalam posting sebelumnya, Ibn Arabi menceritakan tentang seorang waliyullah yang sedang bertafakkur dan bermunajat kepada Rabb-nya. Dia mengadukan berbagai persoalan dan kebingungan yang melilit perjalanan hidupnya, sampai kemudian Allah Swt memberikan petunjuk kepadanya melalui ilham. Sebagian isi ilham sudah dipaparkan pada postingan yang lalu. Postingan kali ini adalah kelanjutan dari ilham Allah Swt yang diterima oleh waliyullah tersebut. Silahkan menyimak, semoga bermanfaat. Wassalamu ‘ala man ittaba’al huda. Nuwun===ooo===
Hai hamba-Ku! Jika kamu merasa berat melaksanakan apa yang Aku perintahkan kepadamu, ucapkanlah:
Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Sebagaimana hal itu diucapkan oleh para malaikat-Ku yang memikul ‘Arasy, karena meresa merasa sangat berat menanggunya.
Jika kamu ditimpa musibah atau cobaan, ucapkanlah:
Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali.
Sebagaimana hal itu diucapkan oleh para kekasih-Ku.
Jika kamu tergelincir berbuat maksiyat atau dosa kepada-Ku, berdoalah sebagaimana kekasihku Adam dan isterinya memohon kepada-Ku:
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
Jika kamu kamu mengahadapi masalah, bingung dan ingin memperoleh petunjuk untuk menyelesaikannya, maka berdo’alah seperti do’a yang diucapkan oleh kekasihku Ibrahim ‘alaihi salam:
(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, dan Dia-lah yang memberi petunjuk kepadaku (78) Dia-lah yang memberi makan dan minum kepadaku (79) Jika aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku (80) Dia-lah yang dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81) Dia-lah Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82) (Ibrahim berdo`a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, (83) dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, (84) dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, (85) dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, (86) dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (87) (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, (88) kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”(89) (Qs Al-Syu’ara; 78-89)
Jika kamu ditimpa musibah yang menyedihkan, ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Nabi Ya’qub ‘alaihi salam:
Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.”(Qs Yusuf; 86)
Jika kamu melakukan kesalahan, ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Nabi Musa ‘alaihi salam:
“Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)” (Qs Al-Qashash; 15)
Jika terbersit dalam hatimu untuk berbuat maksiyat kepaaku, maka ucapkanlah seperti yang dikatakan oleh Nabi Yusuf ‘alaihi salam:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs Yusuf; 53)
Jika kamu ditimpa suatu fitnah atau ujian, maka lakukanlah seperti yang dilaksanakan oleh kekesih-Ku Daud ‘alaihi salam, yakni meminta ampun, bersujud dan bertaubat (sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an surat Shad ayat 24).
“Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat” (Qs Shad; 24).
Jika kamu melihat hamba-hamba-Ku yang bermaksiyat dan berbuat kesalahan,dan kamu tidak tahu bagaimana aku akan menghukum mereka, maka ucapkanlah seperti ucapan Nabi Isa ‘alaihi salam:
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Qs Al-Maidah;118)
Jika kamu hendak meminta ampun kepada-Ku, maka berdo’alah seperti do’a yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabat-sahabatnya:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”(Qs Al-Baqarah; 286).
Jika kamu khawatir akan akibat dari suatu perkara dan kamu tidak tahu bagaimana akhir dari proses perjalanan hidupmu, maka berdo’alah seperti yang diucapkan oleh para kekasih-Ku:
(Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (Qs Ali Imran; 8-9).
Selesai…
MENYOROT GERAKAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA
Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut agama, baik yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah berbentuk formal religion, yakni agama Hindu dan Budha. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak diikuti dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan Islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Dilihat dari strategi dakwah, para da’i muslim berhasil melakukan pendekatan persuatif, kultural, dan politik terhadap penduduk Indonesia. Sementara menyangkut content atau materi dakwahnya, penduduk pribumi tampaknya tertarik dengan agama baru tersebut karena beberapa hal, antara lain; prinsip egalitarian atau kesejajaran manusia pada satu sisi, dan corak sufistik yang mewarnai Islam yang dibawa oleh para da’i imigran tersebut pada sisi yang lain.
Isu kesamaan derajat yang dibawa Islam tentu menarik kalangan pribumi, terutama di kalangan yang selama ini hidup dalam strata atau kasta rendah yang sering menjadi objek eksploitasi oleh kasta di atasnya dengan mengatasnamakan agama. Pada sisi lain, corak Islam sufistik juga menarik perhatian penduduk pribumi karena adanya titik-titik persamaan dengan kepercayaan dan agama mereka. Islam sufistik yang sarat dengan ajaran moral dan kontemplatif tidak begitu asing bagi tradisi masyarakat setempat. Itulah mengapa Islam bisa diterima secara damai oleh penduduk pribumi atau setidaknya bisa hidup berdampingan dengan agama lain selama berabad-abad. Persoalan baru muncul ketika di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh gelombang kesadaran baru untuk mengedepankan corak Islam yang lebih puritan dan formal.
Gelombang puritanisme
Sampai dengan pertengahan abad ke-19, corak Islam Indonesia masih diwarnai tradisi sufistik yang melembaga dalam bentuk tarekat, seperti Idrusiyah (dibawa Nuruddin ar-Raniri, w.1658), Sattariyah (dikenalkan as-Singkili, w.1693), Khalwatiyah (dikenalkan oleh Yusuf al-Makassari, w.1699), Sammaniyah (dibawa oleh Abdushamad al-Palimbani, w.1789), Qadiriyah-Naqsabandiyah (diformulasikan oleh Ahmad Khathib Sambas, l.1805), dan lain-lain. Di samping sufistik, Islam Indonesia juga ditandai dengan pengadopsian hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab, terutama Syafi’iyah. Sementara itu, terkait dengan doktrin teologi, umat Islam Indonesia terbiasa dengan ajaran Sunni, terutama Asy’ariyah.
Sampai dengan abad ke-19, pengamalan Islam sufistik ternyata tidak hanya di Indonesia, tetapi telah menjadi trends keberagamaan umat Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk di Timur Tengah. Mekkah dan Madinah pada saat itu menjadi pusat pengajaran Islam yang sekaligus pusat ajaran sufi. Sejumlah ulama Indonesia tercatat sebagai alumni Mekkah-Madinah yang sekaligus transmiter dan mursyid tarekat di Indonesia.
Praktek-praktek sufi di tanah Arab belakangan dikritik oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w.1792). Dalam pandangannya, praktek-praktek sufistik telah menyimpang dari ajaran Islam generasi Nabi, sahabat, dan tabi’in, karena penuh dengan bid’ah, syirik dan khurafat. Oleh karena itu, harus ada upaya “sistematis” untuk mengembalikan umat kepada Islam yang murni, yang puritan, sebagaimana dipraktekkan oleh tiga generasi terbaik umat ini atau as-salaf ash-shalih. Itulah mengapa gerakan pemurnian in sering disebut dengan Wahhabi dan belakangan dikenal dengan Salafi.
Dalam menjalankan misinya, Wahhabi sering bertindak keras, tanpa kompromi, bahkan melakukan konspirasi politik dengan Dinasti Saud yang punya kepentingan untuk menasionalisai Arab dari kekuasaan Kekhalifahan Turki Usmani di Istanbul. Hubungan mutualisme Wahhabi-Saudi bertahan hingga sekarang, karena Wahhabi dijadikan sebagai faham resmi pemerintah.
Gerakan Wahhabi ternyata berimbas ke Indonesia. Jika di masa lampau, kaum Paderi di Sumatera Barat yang menjadi agennya, dan sedikit banyak Muhammadiyah, maka di era sekarang ini, pengimpor utama faham Wahhabi adalah kelompok Salafiyun. Dukungan finansial juga diberikan pemerintah Saudi kepada lembaga sosial yang mau diajak “kerjasama”.
Pada tataran wacana, sebenarnya perbedaan dalam memahami ajaran Islam sudah menjadi hal yang biasa. Yang menjadi masalah adalah ketika terjadi pemaksaan pendapat dengan cara-cara yang tidak santun dan cenderung menyalahkan pihak lain. Ketika hal ini terjadi, maka ketegangan di antara berbagai varian Islam tidak bisa dihindari.
Gejala Arabisasi
Bahwa Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh Arab (Timur Tengah) adalah kenyataan sosio-historis, mengingat posisi Indonesia yang merupakan wilayah pinggiran. Namun ketika pengaruh itu berlangsung secara massif dan sangat kuat, maka yang terjadi justeru “Arabisasi” Islam Indonesia, yakni peniruan secara total tradisi berpikir dan budaya Arab oleh umat Islam Indonesia. Gejala ini tampak dalam bentuk, pertama, muncul organisasi sosial maupun politik umat Islam Indonesia yang mengadopsi platform perjuangan organisasi induknya di Timur Tengah. Kedua, kemiripan pola-pola pengkaderan, idiom, dan simbol-simbol yang digunakan antara ormas Islam tertentu dengan organisasi sejenis di Timur Tengah. Ketiga, belakangan ini muncul model dan gaya berpakaian di kalangan sebagian umat Islam Indonesia yang meniru tradisi orang Arab.
Gejala Arabisasi ini bukan tidak mungkin akan mengikis identitas umat Islam Indonesia yang telah dibangun sejak lama. Mengingat perbedaan geografis, sosiologis, politik, dan kultural serta perbedaan problem dan tantangan yang dihadapi antara umat Islam Indonesia dengan Timur Tengah, maka sudah sepantasnya dilakukan usaha-usaha membumikan Islam agar sesuai dengan karakter keindonesiaan bukan lagi model Islam Timur Tengah yang dipaksakan di Indonesia. Dengan demikian Islamisasi tidak berarti Arabisasi.
MENCINTAI ALLAH SWT
Dalil tentang cinta ini adalah firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-Maidah; 54).
Dan juga firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (Qs. Al-Baqarah; 165).
Dalam berbagai haditsnya, Rasulullah Saw telah menyatakan bahwa mencintai Allah Swt merupakan syarat iman, sebagaimana ditanyakan oleh Abu Razin al-‘Uqaili: “Ya Rasulullah Saw, apakah yang disebut iman itu?” Jawab Rasulullah Saw: “(Yakni) engkau mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya melebihi cintamu kepada yang lainnya.”
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kamu, sehingga Allah Swt dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lainnya.” Dalam hadits yang lain disebutkan: “Seorang hamba tidak akan beriman sehingga Aku (Rasulullah Saw) lebih dicintainya daripada keluarganya, hartanya dan semua orang” dalam riwayat lain: “(melebihi cintanya) kepada diri sendiri.”
Allah Swt juga berfirman: “Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (Qs. Al-Taubah; 24).
Ayat di atas mengandung peringatan bagi siapa saja yang mengingkarinya. Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya: “Cintailah Allah Swt karena Dia telah memberi berbagai kenikmatan kepadamu, dan cintailah aku karena Allah Swt juga mencintaiku.”
Diriwayatkan, ada seorang sahabat yang berkata kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah Saw, aku mencintaimu”, maka Rasulullah Saw bersabda:“Bersiaplah engkau (untuk menghadapi) kefaqiran.” Sahabat tadi berkata lagi: “Aku mencintai Allah Swt.” Jawab Rasulullah Saw: “Bersiaplah engkau (untuk menghadapi) cobaan-(Nya)”.
Dalam suatu riwayat yang terkenal, Nabi Ibrahim ‘alaihi salam berkata kepada malaikat maut ketika akan mencabut nyawanya: “Pernahkah engkau melihat Sang Kekasih (maksudnya Allah Swt) mematikan kekasihnya (maksudnya dirinya sendiri yang bergelar “al-halil”) ?”, maka Allah Swt menurunkan wahyu kepada Ibrahim: “Pernahkah kamu melihat Sang Pecinta tidak suka bertemu dengan orang yang dicintainya?” Lalu Nabi Ibrahim berkata kepada malaikat maut: “Sekarang, cabutlah nyawaku!”. Kisah diatas tidak mungkin terjadi, kalau saja Nabi Ibrahim tidak mencintai Allah Swt dengan sepenuh hati. Ketika Nabi Ibrahim mengetahui bahwa kematian menjadi sebab pertemuannya dengan Allah Swt, maka hatinya menjadi gelisah ingin segera bertemu dengan-Nya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa bagi Nabi Ibrahim, tidak ada yang lebih dicintai kecuali Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw pernah berdo’a: “Ya Allah, anugerahkanlah aku (untuk) mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu dan mencintai apapun yang bisa mendekatkanku untuk mencintai-Mu. Jadikanlah kecintaanku pada-Mu menjadi (hal yang) lebih aku cintai daripada (kesukaanku pada) air yang dingin.” Abu bakar al-Shiddiq berkata: “Barang siapa yang telah merasakan tulusnya cinta Allah Swt, ia tidak akan lagi disibukkan untuk mencari dunia dan ia bisa melepaskan diri dari (pergaulan) sesama manusia.”
Al-Hasan berkata: “Barang siapa yang “mengerti” Tuhannya, ia akan mencinta-Nya, dan barang siapa yang “mengerti” dunia, ia kan bersikap zuhud kepadanya.” Abu Sulaiman al-Darani berkata: “Di antara makhluk Allah Swt ada segolongan orang yang tidak lagi tergiur oleh surga dan kenikmatan di dalamnya, maka bagaimana mungkin mereka bisa disibukkan oleh urusan duniawi.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Isa ‘alaihi salam berjalan melewati tiga kelompok orang yang badanya kurus-kurus. Nabi Isa berkata kepada kelompok pertama: “Ajaranku yang mana yang membuat kalian begitu?” Jawab mereka: “Takut kepada neraka.” Nabi Isa berkata: “Kebenaran atas Allah Swt, semoga Dia mengamankan orang yang ketakutan (kepada neraka)”. Lalu Nabi Isa melewati kelompok yang kedua. Mereka lebih kurus daripada kelompok pertama. Nabi Isa bertanya pada meraka: “Ajaranku yang mana yang membuat kalian jadi begini?” Jawab mereka: “Merindukan surga.” Nabi Isa berkata: “Kebenaran atas Allah Swt, semoga Dia memberikan apa yang kalian harapkan.” Selanjutnya, Nabi Isa melewati kelompok yang ketiga. Tubuh mereka sangat kurus dan di wajah mereka seoah-olah ada cahaya. Nabi Isa bertanya pada mereka: “Ajaranku yang mana yang membuat kalian jadi begini?” Jawab mereka: “Kami mencintai Allah Swt.” Nabi Isa berkata: “Kalianlah orang-orang yang dekat dengan Allah Swt, Kalianlah orang-orang yang dekat dengan Allah Swt, Kalianlah orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.”
Abd al-Wahid Zaid berkata: “Saya bertemu dengan orang yang tinggal di tengah salju. Aku bertanya kepadanya: “Tidakkah engkau merasa kedinginan?” Jawab dia: “Barang siapa yang senantiasa mencintai Allah Swt, dia tidak akan merasa kedinginan.” Dari Sirri al-Saqathi, dia berkata: “Pada hari kiyamat, setiap umat dipanggil sesuai dengan nabi-nabi mereka, seperti wahai umat Musa, umat Isa dan umat Muhammad, kecuali mereka yang mencintai Allah Swt. Mereka dipanggil dengan sebutan: Wahai para kekasih Allah Swt, mendekatlah kemari, ke sisi Allah Swt. Hati mereka hampir saja copot saking gembiranya perasaan mereka.”
Harm bin Hayan berkata: “Jika seorang mukmin “mengerti” Tuhannya, maka ia akan mencintai-Nya, jika ia mencintai-Nya, Allah akan menghadapkannya, jika ia telah merasakan manisnya “menghadap Allah Swt”, ia tidak akan memandang dunia dengan pandangan yang tertarik, juga tidak akan memandang akhirat dengan pandangan yang menyenangkan. Manisnya menghadap Allah Swt membuatnya merasa rugi (tidak betah) di dunia dan merasa senang di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata: “Pengampunan Allah Swt bisa menenggelamkan dosa-dosa, bagaimana dengan keridlaan-Nya? Keridlaan-Nya bisa menenggelamkan semua keinginan, bagaimana dengan cinta-Nya? Cinta-Nya bisa mencengangkan akal, bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayangnya bisa melupakan semua selain Allah Swt.” Yahya bin Mu’adz juga berkata: “Cinta, walau hanya sebesar bijih gandum, lebih aku sukai daripada beribadah selama 70 tahun tanpa didasari rasa cinta.”
Dalam kesempatan yang lain, Yahya bin Mu’adz pernah mengadu: “Ya Allah, Ya Tuhanku! Aku berdiri terpana di hadapan-Mu, senantiasa memuji kebesaran-Mu. Hanya sedikit yang bisa aku berikan kepada-Mu, tetapi Engkau anugerahkan aku pakaian ma’rifat-Mu. Engkau tempatkan aku dalam rahasia kelembutan-Mu. Engkau pindahkan aku dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Engkau bolak-balikan aku dari satu perbuatan ke perbuatan lainnya, dari taubat, zuhud, rindu, ridla dan cinta. Engkau sirami aku dengan air telaga-Mu. Engkau mudahkan aku menikmati taman keindahan-Mu. Aku ingin tetap memenuhi perintah-Mu. Aku mabuk cinta pada perkataan-Mu, maka bagaimana mungkin aku berpaling dari-Mu. …aku mencinta-Mu, dan setiap orang yang sedang jatuh cinta pasti tergila-gila dengan kekasihnya dan berpaling dari yang lainnya.”
Banyak hadits dan perkataan sahabat atau tabi’in tentang “mencintai” Allah Swt yang tidak mungkin di paparkan di sini, karena keterbatasan yang ada. Namun demikian, semua itu adalah persoalan dlahir saja, yang perlu dilakukan adalah masuk dan menyelam di balik makna dan hakikat cinta itu sendiri.
KEMURAHAN ALLAH
Setiap orang yang “berjalan” menuju Allah Swt akan melalui berbagai tahapan atau tingkatan. Namun demikian, seorang salik (penempuh jalan tasawuf) hanya bisa mengetahui tingkatan yang sedang dan telah dilaluinya. Ia tidak bisa memahami secara pasti tingkatan yang ada di atasnya. Ia hanya meyakini tentang keberadaannya, seperti kita yang mempercayai dan meyakini kebenaran adanya nabi dan nubuwwah (kenabian), tetapi hanya nabi sendirilah yang mengetahui hakikat kenabiannya.
Begitu juga seorang janin atau bayi, ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi – dan pengetahuan yang dimilikinya – pada masa balitanya, pada masa kanak-kanaknya dan pada masa dewasanya. Oleh karena itu, manusia biasa tidak akan bisa memahami dan mengetahui secara pasti apa yang diberikan Allah Swt kepada para wali-Nya, yang berupa rahasia dan rahmat-Nya. “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al-Fathir; 2).
Semua rahmat tersebut menunjukkan kemurahan dan kemuliaan Allah Swt, namun hanya hati yang siap menerima “hembusan” rahmat-Nya saja lah yang bisa mendapatkannya. Sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya pada masa-masa tertentu dalam kehidupanmu, Allah Swt selalu “meniupkan” rahmat-Nya, maka bersiaplah untuk menerima hembusan itu.” Bersiap diri untuk menerima “hembusan” itu adalah dengan cara membersihkan hati dan mensucikannya dari berbagai kotoran yang diakibatkan oleh akhlaq yang tercela, sebagaimana akan dipaparkan nanti.
Tentang kemurahan Allah Swt tersebut, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap malam Allah Swt “turun” ke langit dunia dan berfirman: Adakah orang yang berdo’a, niscaya Aku kabulkan do’anya.”
Dalam hadits qudsi Allah Swt berfirman: “Sungguh orang-orang yang baik telah lama memendam kerinduan untuk bertemu dengan-Ku, tetapi Aku lebih merindukan bertemu dengan mereka.”
Dalam hadits qudsi yang lain, Allah Swt juga berfirman: “Barang siapa yang mendekat kepadaku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta.”
Semua keterangan di tas menunjukkan bahwa cahaya ilmu Allah Swt tidak akan pernah terhalang dari hati, artinya, dengan kemurahan-Nya akan memberikan ilmu-Nya kepada hamba-Nya. Maha Suci Allah Swt dari sifat bakhil, yakni menyembunyikan ilmu-Nya.
Namun demikian, penyebab terhalangnya ilmu atau cahaya dari hati adalah karena faktor hati itu sendiri yang penuh dengan kekotoran dan karat. Hati itu ibarat sebuah gelas, jika ia telah penuh dengan air, maka tidak ada lagi tempat kosong untuk masuknya udara. Begitu juga dengan hati yang sibuk memikirkan selain Allah Swt, maka “ma’rifat” tentang keagungan Allah Swt tidak bisa masuk kepadanya.
Nabi Muhammad Saw memberikan isyarat tentang hali itu dengan bersabda: “Seandanya syaitan tidak mengitari/menutupi hati manusia, niscaya manusia bisa melihat “kerajaan” langit.”
Dari semua keterangan di atas, dapa disimpulkan bahwa keistimewaan manusia terletak pada ilmu dan hikmahnya. Ilmu yang tertinggi adalah ilmu tentang Allah Swt, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Dengan mengetahui ilmu itu, manusia menjadi sempurna. Dalam kesempurnaannya itu, manusia memperoleh kebahagiaannya “di sisi” Allah Swt yang Maha Agung dan Maha Sempurna.
DALIL TENTANG ADANYA AL-KASYF
1. Keajaiban mimpi yang benar.
Sesungguhnya, lewat mimpi sesuatu yang ghaib bisa diketahui atau tersingkap. Jika itu terjadi dalam keadaan tidur, maka tidak menutup kemungkinan terjadi pula dalam keadaan jaga, karena sebenarnya yang membedakan antara tidur dan jaga hanyalah panca inderanya saja. Dalam kedaan tidur, panca indera tidak berfungsi, namun tidak sedikit orang yang sedang jaga, tetapi ia tidak mendengar dan melihat karena ia sibuk dengan dirinya sendiri.
2. Informasi yang diberikan Rasulullah Saw mengenai persoalan-persoalan ghaib dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an.
Jika itu bisa dilakukan oleh seorang nabi, maka tidak menutup kemungkinan orang lain juga bisa mengalaminya. Karena nabi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang telah dibukakan kepadanya hakikat segala sesuatu (mukasyafah) dan dia bertugas untuk memperbaiki akhlaq manusia. Oleh karena itu, sangat mungkin adanya seseorang yang juga dibukakan kepadanya (mukasyafah) tetapi dia tidak bertugas untuk memperbaiki manusia. Yang terakhir ini tidak disebut dengan istilah nabi tetapi “wali”.
Barang siapa yang beriman kepada para nabi dan meyakini kebenaran mimpi, maka dia harus mengakui pula bahwa hati memiliki dua pintu, satu pintu menghadap ke luar, yakni mengarah ke panca indera, dan satu pintu, yang berada pada hati yang paling dalam, menghadap ke malakut. Inilah pintu ilham dan wahyu. Jika ia telah mengakui adanya dua pintu hati ini, maka ia pun harus mengakui pula bahwa ilmu tidak hanya diperoleh melalui belajar atau sebab-sebab yang “wajar” lainya. Sangat mungkin “mujahadah” juga bisa menjadi jalan diperolehnya pengatahuan. Uraian di atas mengingatkan pada apa yang telah kami bicarakan sebelumnya, yakni tentang keajaiban hati yang mampu berpindah-pindah antara menyaksikan alam nyata (‘alam al-musyahadah) dan menembus alam ghaib atau malakut (‘alam al-malakut).
Tersingkapnya sesuatu di dalam mimpi dalam bentuk “perlambang atau simbol” yang perlu diuraikan maknanya, begitu juga penampakan malaikat kepada para nabi dan wali dalam bentuk yang berbeda-beda adalah contoh-contoh dari rahasia keajaiban hati. Semua itu tidak akan bisa dicerna atau difahami kecuali dengan ilmu mukasyafah yang bisa didapatkan melalui “mujahadah” dan berusaha untuk mendapatkan kasyf dalam mujahadanya itu.
Salah seorang yang pernah mengalami kasyf berkata: “Ada malaikat yang menampakkan diri di hadapanku. Dia meminta kepadaku agar aku mendiktekan kepadanya sebagian dari dzikir khafi (dzikir rahasia)-ku dan musyahadah-ku. Malaikat tadi berkata: “Kami tidak bisa mencatat amal perbuatanmu, sedangkan kami ingin melaporkan amal perbuatanmu yang dengannya engkau mendekatkan diri kepada Allah Swt”. Aku pun bertanya kepadanya: “Bukankah kalian telah mencatat shalat wajibku?” Malaikat menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Kalau begitu, itu saja sudah cukup bagi kalian.”
Kisah di atas menunjukkan, bahwa malaikat al-kiram al-katibin (malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia) tidak mampu melihat rahasia-rahasia hati. Mereka hanya mampu melihat amal perbuatan yang nampak kelihatan saja.