SUFISTIK
In  the Name of God, the Merciful, the Compassionate, Assalaam Alaikum  Warahmatullah Wabarakatuhu, Welcome to the Path to Peace,  Sincerely  Yours is also friendship. 

Sang  Maha Meliputi semua materi, semua cahaya, semua energi, semua getaran,  semua daya, semua gerak, semua pikiran, semua persepsi, semua kehendak,  semua penglihatan, semua pendengaran, semua rasa, semua waktu, semua  jarak, semua dimensi, semua ruang, semua dunia, semua akhirat, semua  syurga, semua neraka, semua wujud, semua malaikat, semua makhluk, semua  sifat, semua baik, semua buruk, semua senang, semua susah, semua  bahagia, semua sedih, semua aksara, semua kata, semua kalimat, semua  bunyi, semua hidup, semua mati, semua nafas, semua apa saja.., bahkan  meliputi semua kesadaran…
RUANGAN yang merupakan realitas dari  sebuah kalimat sederhana yang membawa kesadaran kita untuk menafikan  segala sesuatu, LAA ILAHA…!. Ruang yang tidak ada apa-apa lagi disitu  yang bisa kita nafikan (tiadakan). KOSONG…, HENING…, ABADI…, AL BATHIN…,  ALIF LAM MIM…, NUN…
Masalahnya adalah, saat kita ingin menyadari kekosongan ini, kita  dihadapkan pada banyak referensi yang tidak mudah untuk dimengerti. Kita  digiring kepada pengetahuan-pengetahuan yang rumit. Semakin rumit  ilmunya, maka itu dikatakan semakin hebat. Makanya untuk menemukan  suasana kekosongan ini saja, kita juga berumit-rumit ria. Haruslah  begini, haruslah begitu, haruslah begiti, haruslah begito, haruslah  begita. Akhirnya kita jadi pusing sendiri… 
Padahal siapapun juga, siapa saja,  sebenarnya punya kesempatan yang sama untuk bisa menyadari adanya  kekosongan abadi ini. Sesuatu yang tidak perlu dicari-cari dan  dibayang-bayangkan. dan kosong kok dicari dan dibayangkan?. Ya tidak  bakalan ketemu. Sebenarnya kita tinggal DEKONSENTRASI…, KOSONG…, lalu  tunjuk saja INI, selesai sudah…
Kalau ada yang masih bingung juga, maka  sebuah teknik Sufi dan Para Sahabat Nabi yang amat sederhana berikut  barangkali bisa dijadikan sebagai alternatif cara yang patut dicoba.  Yaitu teknik NO CONFESS/TIDAK MENGAKU. Ya…, tidak mengaku…!. Apakah itu  sulit. Jadilah tidak mengaku pintar, tidak mengaku hebat, tidak mengaku  khusyu, tidak mengaku bisa, tidak mengaku tersiksa, tidak mengaku sedih,  tidak mengaku hidup, tidak mengaku ada, tidak mengaku apa saja…
Dan bagaimana mau tidak mengaku kalau  selama ini kita diajarkan untuk mengaku-ngaku. Ini milikku, ini  tanganku, ini dadaku, ini hartaku, ini pintarku, ini bisaku, ini seribu  pengakuanku… Dan semua pengakuan kita itu sudah karatan berada didalam  ceruk-ceruk memori otak kita. Anehnya lagi, semakin kita tidak mengaku,  malah sebaliknya pengakuan kita itu semakin pekat muncul didalam pikiran  kita. Saat kita mengaku tidak hebat, maka yang muncul didalam pikiran  kita malah kita yang hebat. Saat kita mengaku tidak sombong dan angkuh,  maka yang muncul didalam pikiran kita malah saya sombong dan angkuh.  Cobalah kalau tidak percaya.
So Insya Alloh Begitu..Pepatah Para Al-Irsyad,Al-Ghauts,Alh-Ma’qul,Ahl-Haqiqah,Ahl-allah dan Ahl-al Yaqn…
Ya Insya Alloh, kalau kita mencoba untuk  tidak mengaku itu dengan pikiran kita. Untuk tidak mengaku itu, kita  masuk kedalam alam memori pikiran kita. Bahwa untuk mengaku tidak hebat  itu caranya begini dan begitu, untuk mengaku tidak sombong itu kita  harus begini dan begitu. Hanya sekedar definisi-definisi saja kesemuanya  itu.
Padahal sombong itu adalah rasa. Rasa  sombong. Begitu juga dengan rasa-rasa yang lainnya, seperti rasa hebat,  rasa angkuh, rasa bisa, rasa hidup, rasa kaya, rasa ada… Dan jadilah  kita menjalankan rasa itu dalam setiap langkah kehidupan kita. Saat dada  kita dilekati oleh rasa angkuh, maka kita akan menjalankan keseharian  kita dengan rasa angkuh itu. Kepada siapa saja kita akan angkuh. Malah  semakin lemah dan rendah orang lain yang ada dihadapan kita, maka rasa  angkuh itu akan semakin kental dan pekat pula munculnya. Dan kita  sangat-sangat terbiasa masuk dan terikat dengan rasa angkuh itu. Kita  dililit oleh rasa angkuh itu, seperti lilitan seekor ’ular python’ yang  super besar. Kita terengah-engah seperti kesulitan bernafas. Semakin  dalam kita masuk kedalam ruangan rasa angkuh itu, semakin sesak pula  nafas kita. Malah sesak nafas kita itu akan lebih parah lagi kalau ada  orang lain yang ’menggemai’ (menyentuh) rasa angkuh kita itu dengan rasa  angkuh miliknya, yang menurut kita rasa angkuh dia jauh dibawah rasa  angkuh kita. Sesak dan menyiksa sekali.
Oleh sebab itu untuk memahami rasa itu,  Para Al-Hadrah Al-Uns/Maqom Mabahtulloh janganlah gunakan mata, telinga,  lidah, dan kulit kita. Untuk itu gunakanlah dada kita. So…, rasa angkuh  dan sombong, rasa mengaku itu tadi, ternyata letaknya ada di QOLBU  kita.
Ada aku dan ada Di QOLBUKU. Aku menjadi  pengamat atas dadaku. Aku menjadi terpisah dengan dadaku. Tuh ada dadaku  dibawahku. Aku berada diatas dadaku, diatas semua rasa, ”balil insanu  ’ala nafsihi bashirah”,(al Qiyamah 14).
Perjalaan Haqeqat Ruhaniyah TajaliaH Dan  Sangat menakjubkan sekali…, begitu kita berhasil menjadi pengamat atas  dada kita dengan arif, kita seperti keluar dari dada kita. Kita seperti  berada diatas semua rasa kita. Seketika itu pula kita akan terbebas pula  dari berbagai rasa pengakuan yang tadinya menyergap kita. Sebab aku  ternyata adalah wujud yang tidak pernah mengaku apa-apa, karena aku  memang tidak pernah terikat dengan berbagai bentuk pengakuan. Aku adalah  wujud yang melampui semua rasa pengakuan. Aku adalah wujud yang  semurni-murninya wujud, Ar Ruh.
Aku adalah wujud yang tidak terpengaruh  oleh rasa senang maupun sedih. Aku adalah diri yang tidak terikat oleh  rasa takut, rasa khawatir ataupun rasa tenang. Aku adalah wujud yang  berada dalam ruang kekosongan dari segala pengakuan. Inilah makna Laa  ilaha.. yang sebenarnya….quoting from the Quran:
‘And give good tidings to the humble.’ [al-Hajj, 22:34]  (Wa-bashshiri-lmukhbitin.)” Akulah Ar Ruh yang sangat dekat dengan  Tuhan, Sang Pemilikku. INI…
Kalau sudah begini, kita tinggal  selangkah lagi saja untuk menjadi seorang yang bertauhid, seorang  mukmin. Kita tinggal MEMANCAR mengarah ke INI. Lalu panggil Sang INI  yang menyebut Diri-Nya dengan Nama ALLAH…, sudah mukmin deh kita.
Dan setelah itu kita siapkan saja DADA  kita untuk menerima berbagai pemahaman dan pengajaran dari Allah  terhadap apa-apa yang tidak kita ketahui. Karena Dia memang adalah Sang  Mengajarkan (Rabbi) kepada manusia apa yang tidak diketahuinya, ’allamal  insaana maa lam ya’lam…’. Masak sih nggak percaya?. Nantinya, barulah  setiap pengajaran yang kita terima itu kita lihat di peta atau referensi  yang sudah ada. Kita sudah sampai dimana, ada dimana, hendak dibawa  kearah mana, sedang mengalami apa, sedang merasakan apa, dan sebagainya.
Sekarang pintar-pintarnya kita saja untuk  mencari referensi yang terbaik diantara referensi-referensi yang ada.  Kita mau pakai peta yang bagaimana untuk meningkatkan kesadaran kita  dari hidup yang hanya sekedar berkutat dengan wujud yang kosong menjadi  hidup yang penuh keheran-heranan melihat pada yang kosong ini ternyata  ada keberartian, ada keberadaan. ADA…
Peta terbaik, diantara peta-peta yang  ada, menurut saya adalah Al Qur’an. Ya Insya Alloh… Al Qur’an. Peta yang  memuat ilmu tentang segala keberadaan dan keberartian, sekaligus juga  ilmu tentang semua ketidakberadaan dan ketidakberartian. Nah…, bagi yang  mau, ikuti sajalah peta itu dengan telaten.
Setiap membaca sebuah ayat Al Qur’an, misalnya yang menerangkan tentang  sebuah kebaikan, selalulah lihat ke dalam DADA kita sendiri. Lalu  amatilah apakah suasana dada kita itu sama dengan suasana yang  disebutkan oleh ayat Al Qur’an tentang kebaikan tersebut. Karena semua  kebaikan pastilah punya suasana yang khas didalam dada kita. Kalau sama,  maka kita namanya sudah menjadi orang yang bersaksi (syahid) terhadap  kebenaran ayat tentang kebaikan tersebut. Artinya dada kita saat itu  adalah Al Qur’an itu sendiri. Al Qur’an yang berjalan dibagian kebaikan.
Begitu juga saat kita membaca sebuah ayat  Al Qur’an tentang keburukan, atau paling tidak tentang serba  kebingungan kita tentang selendang Allah, misalnya, maka buru-buru  pulalah lihat DADA kita. Amatilah suasana dada kita. Apakah dada kita  juga tengah penuh dengan suasana keburukan atau serba kebingungan  tentang Allah?. Kalau ya, maka namanya dada kita itu juga sedang sama  dengan Al Qur’an, tapi dibagian yang tidak baiknya. Kita telah menjadi  Al Qur’an yang berjalan tapi pada bagian tentang keburukan.
Jadi seperti apapun suasana DADA kita itu  (termasuk suasana isi otak kita), pastilah sama dengan salah satu atau  banyak ayat-ayat al Qur’an. Karena Al Qur’an memang adalah gambaran dari  segala kemungkinan suasana dada dan otak seluruh umat manusia dari  zaman ke zaman. Oleh sebab itu setiap kita membaca ayat Al Qur’an,  janganlah menganggap bahwa ayat tersebut adalah untuk orang lain.  Jangan…!. Sebab ayat itu adalah untuk diri kita sendiri. Agar supaya  kita menjadi saksi atas kebenaran tentang adanya kebaikan dan keburukan  berikut dengan segala suasananya yang ada.
Kalau sudah bersaksi, maka barulah kita  bisa menceritakan tentang apa-apa yang kita persaksikan itu. Kalau belum  bersaksi, tapi kita sudah berani-beraninya bercerita tentang segala  sesuatu yang suasananya belum ada didalam dada kita, maka manfaatnya  nyaris tidak akan ada bagi orang lain yang mendengarkan atau membacanya.  Paling hanya sekedar akan menjadi ilmu semata yang menyesaki otak  mereka. Oleh sebab itu Allah memperingatkan kita bahwa:
”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (alami)”. (Ash Shaff 61:3)
Al Qur’an menegaskan bahwa ada Allah yang  meliputi segala sesuatu. Oleh sebab itu siap-siaplah untuk menerima  kenyataan bahwa pada kekosongan ini ternyata ada SANG ADA, yang mengaku  dengan sangat tegas: ”innani anallah laa ilaha illa ana fa’budni wa  aqimish shalaata lidzikri… Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada  Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat  untuk mengingat Aku.”, (Thaha 14).
Begitu SANG ADA menanamkan pengertiannya  didalam dada kita: ”innani anallah….”, maka tegaskanlah, isbatkanlah:  ILLA ALLAH…, ILLA ANTA…, ILLA ANTA…, ILLA ANTA…, Benar Ya Allah, Hanya  Paduka saja yang ada, hanya Paduka saja yang hak, hanya Paduka saja yang  ada …”. ADA…, ADH DHAHIRU, DZA LIKAL KITAB…
Kalau Sang Ada sudah bernyata didepan  kita, ADH DHAHIRU, ADA…, maka barulah panggil Dia dengan  merendah-rendah:”Ya Allah…, Ya Allah…, Ya Allah…”. Artinya, saat kita  memanggil Dia, kita tidak lagi mengarahkan kesadaran kita kepada materi  apapun juga yang bisa divisualkan, dibayangkan, didengarkan, dirasakan,  dan diemosikan. Kita semata-mata menghadapkan seluruh kesadaran kita  hanya dan hanya kepada WAJAH ALLAH, Sang Ada…
Ya…, syahadat, sebagai pelajaran pertama  saat kita mengaku sebagai seorang yang percaya (beriman kepada Allah),  adalah untuk menyadari dengan UTUH dan PENUH tentang: ”laa ilaha  illaallah”. ALLAH…, Dialah Al Bathinu, KOSONG, Alif Lam Mim…, dan Dia  pulalah Adh Dhahiru, ADA….”. KOSONG Yang ABADI dan sekaligus pula ADA  Yang ABADI…
Atau dalam tatanan kalimat yang sangat  sederhana adalah: Aku tidak akan pernah mengaku apapun juga, biarlah  Allah saja yang mengaku-ngaku tentang apapun juga. Aku tiada, yang ada  adalah Allah. Kullu man alaiha faanin, wa yabqa wajhu rabbika (Al Rahman  26-27).
Lalu setiap saat SANG ADA akan selalu  menuntun kita untuk segera mengaturkan sembah kepada-Nya. Setiap kita  memanggil-Nya: ”ya Allah”, maka Dia akan tuntun kita: ”fa’budni, ya  hamba-Ku, sembahlah Aku…, mengabdilah kepada Aku…”.
Begitu kita panggil Dia: ”Ya Allah…”,  mata kita ditundukkan-Nya: ”Wahai mata, merunduklah kepada-Ku.  Rasakanlah seperti apa yang juga dirasakan oleh hamba-hamba-Ku yang  saleh lainnya tentang bagaimana cara seharusnya hamba-Ku menyembah-Ku.  Merunduklah…”. Dan matapun melepaskan bebannya berupa butir-butir bening  lembut yang mengalir deras tak tertahankan. Semakin kita panggil Dia,  mata kitapun semakin didudukkan-Nya dalam posisi persembahan. Lihatlah  bagaimana mata kita menyembah Tuhan-Nya dengan caranya sendiri.  Menangis. Biarkan sajalah sang mata menyelesaikan prosesi penyembahannya  itu sampai tuntas. Diam.
Saat kita panggil Allah, kulit kitapun ditundukkan oleh Allah sendiri  dalam posisi persembahan kepada-Nya. ”Wahai kulit…, merunduklah  kepada-Ku…, fa’budni…”. Dan setiap inchi kulit kitapun bergetar halus  menyampaikan sembah kepada-Nya. Boleh jadi pada awalnya prosesi  tersungkurnya kulit kita itu dihadapan Allah dengan getaran yang agak  kasar. Akan tetapi biarkan sajalah kulit kita itu menyesesaikan tugasnya  sendiri dalam menyembah Allah. Lihatlah betapa kulit kita bergetar,  bulu-bulu halus kita bergetar, tangan kita bergetar, tubuh kita bergetar  saat mereka didudukkan oleh Allah dalam posisi persembahan.
Tidak hanya itu, atom-atom tubuh kitapun  didudukkan Allah dalam posisi persembahan kepada-Nya. Atom-atom tubuh  kita itu dibersihkan dan dimandikan oleh Allah dengan Nur dari-Nya:  ”fahua ’alaa nuurin mirrabbihi…”, sehingga sang atom itupun seperti  berubah menjadi kupu-kupu yang menari riang menyambut fajar yang sedang  merekah bagi sebuah kesempurnaan. Atom-atom tubuh kita yang tadinya  gelap karena bekas-bekas keangkuhan, dosa-dosa, dan kekotoran kita,  dicelup oleh Allah menjadi atom-atom yang penuh oleh liputan cahaya  iman, islam, dan ihsan…
Biarkan sajalah proses itu berlangsung  untuk beberapa saat. Karena sebenarnya saat itu kulit kita dan atom-atom  tubuh kita sedang dituntun sendiri oleh Allah untuk menuju posisi  persembahannya yang sebenarnya. Posisi TALINU (rileks, lembut, bergetar  halus). Diam.
Ketika kita terus memanggil Allah dengan  lembut, tubuh kitapun akan dituntun sendiri oleh Allah untuk  menyampaikan sembah dan sujudnya kepada Allah. ”wahai tubuh…,  warka’uni…, wasjudni…, waqtarib…, rukuklah kepada-Ku, sujudlah  kepada-Ku, marilah mendekat…!”. Dengan cara mulai dari yang agak keras  sampai kepada cara-cara yang sangat santun dan halus, tubuh kita akan  dituntun oleh Allah untuk rukuk dan sujud kepada Allah Sendiri. Karena  memang cara penyembahan tubuh kita kepada Allah adalah dengan cara itu.  Rukuk dan sujud. Ikuti sajalah prosesi penyembahan tubuh kita kepada  Allah ini sampai selesai. Diam.
Begitulah, mata kita, kulit kita, tubuh  kita, dan bahkan hati (dada, sudur) kita secara telaten dituntun sendiri  oleh Allah untuk menyembah Allah. Dada kita akan direkahkan sendiri  oleh Allah untuk menjadi luas, tenang, damai, dan tentu saja bahagia.  Kita hanya menikmati saja kesemuanya itu dengan rasa terheran-heran. Dan  kalau sudah begitu, maka kita tinggal ikuti saja perintah Allah  berikutnya, yaitu ”wa aqimish shalaata lidzikri…”.
Ya…, dirikan sajalah shalat dalam suasana  mata, kulit, tubuh, dan dada kita menyembah Allah dengan caranya  sendiri-sendiri. Tidak usah diganggu. Dan kesemuanya itu akan selalu  membawa kita untuk ingat dan sadar bahwa benar Allah adalah Tuhan kita  yang maha meliputi segala sesuatu. Kita tinggal siap-siap saja lagi  untuk menerima pencerahan demi pencerahan yang memang kita butuhkan  dalam hidup kita ini, sebagai bekal kita dalam menjalankan tugas kita  sebagai wakil Allah, kurir Allah, duta Allah dialam dunia ini. …
Jadi selalu begitu: KOSONG (al bathinu,  Alif Lam Mim), DEKONSENTRASI, MEMANCAR KE SINI, lalu siap-siaplah untuk  menyadari bahwa pada saat yang sama ada SANG ADA (adh dhahiru, dzaa  likal kitab). KOSONG dan ADA, Al Bathinu dan Adh Dhahiru, ya… SATU.  INI…!. Masak sih hanya sampai ketemu yang KOSONG saja, ya bingunglah  jadinya. Kalau kosong, ya… namanya baru sadar akan Al Bathinu. Sampai  ketemu ADA gitu lho…, Adh Dhahiru. INI…
Jika Sang ADA sudah bernyata dalam  ketiadaan apapun juga (KOSONG), maka kita tinggal bersiap-siap saja lagi  dituntun oleh ALLAH sendiri untuk mengenal, memahami, dan menyampaikan  berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan kita sendiri. Karena Sang  ADA memang telah meletakkan dalam liputan-Nya paling tidak sembilan  puluh sembilan (99) Nama-Nya yang menunjukkan aktifitas-Nya (Af’al-Nya)  dalam menata seluruh alam yang diliputi-Nya. Dimana ke 99 nama-Nya yang  menunjukkan sifat, selendang, aktifitas, atribut-Nya itu tepat berada  dalam liputan-Nya sendiri. Sehingga dengan gagah perkasa Dia berhak  bersabda: ”semua sebutan nama itu adalah milik-Ku, oleh sebab itu  menghambalah kepada Aku saja…”.
Lalu kita perhambakan saja diri kita  kepada Dia. Ya…, kita ikuti saja apapun permintaan-Nya ”seirama” dengan  mata kita, telinga kita, kulit kita, dada kita, tubuh kita yang dengan  caranya sendiri-sendiri ikut permintaan Allah pula, yaitu dengan DIAM,  TENANG, LEMBUT (TALINU). Dan Allah kemudian menyatakan bahwa posisi  terbaik untuk menghamba kepada-Nya adalah dengan mendirikan SHALAT.
Karena shalat memang diperuntukkan buat  kita agar kita selalu bisa sadar penuh kepada Allah. Dari awal shalat  (takbiratul ihram) sampai dengan salam tidak sehirupan nafaspun kita  terjauhkan dari Allah. Dalam shalat kita selalu diajak untuk memandang  Wajah Allah, memuja Allah, memuji Allah, menyembah Allah, merukui Allah  menyujudi Allah, berbicara dengan Allah, berdoa kepada Allah, dan tentu  saja untuk setiap aktifitas kita itu pasti ada respon dari Allah, karena  Dia memang ADA…
”innani anallah laa ilaha illa ana  fa’budni wa aqimish shalaata lidzikri… Sesungguhnya Aku ini adalah  Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka meghambalah,  mengabdilah kepada Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”,  (Thaha 14).
Jadi ”laa ilaha illaallah” itu sebenarnya  bukanlah hanya sekedar sebuah bacaan ringan dan berguman dilidah dan  dibibir saja. Tetapi itu adalah sebuah proses yang sangat lembut dan  mengharukan yang membawa kita mampu untuk menjadi saksi atas diri kita  yang kehilangan segala pengakuan kita. Kosong, diam, hening, abadi. Dan  dengan seketika itu pula kita akan menjadi saksi bahwa pada Wujud  Keabadian itu ada SANG ADA, yang mengaku namanya adalah ALLAH. Karena  kita bersaksi kepada-Nya, maka Dia pun akan bersaksi pula kepada kita.  Karena Dia memang adalah Sang Maha Bersaksi, Asy Syahiid. Setelah itu  kitapun siap-siap dan bersedia untuk dijadikan-Nya sebagai hambanya,  pesuruhnya, abdi-Nya, kurir-Nya dalam menyampaikan Sifat-Nya dan  Af’al-Nya untuk merahmati manusia dan alam semesta disekitar kita.
Pada waktu-waktu tertentu kita tinggal  duduk merendah-rendah, bersimpuh, rukuk, sujud dan DIAM di depan  Wujud-Nya dalam ritual SHALAT sebagai sarana kita untuk minta  pertolongan, minta petunjuk, minta penilaian kepada-Nya atas apa-apa  yang akan dan yang sudah kita kerjakan. Wasta’inu bish shabri wash  shalah…, mintalah pertolongan kepada ku dengan SABAR (DIAM) dan SHALAT…(  Al Baqarah 45). Dan pastilah dia akan memberikan jawaban dalam bentuh  ILHAM (alhamaha), berupa solusi, jalan keluar dari segenap masalah kita,  dan rezki dari pintu yang tidak kita sangka-sangka. Akhirnya tidak ada  sikap lain yang bisa kita tunjukkan kecuali sikap syukur kita, yang  kemudian dibalas berlipat kali oleh Allah dengan Syukur dari-Nya. Karena  Dia memang adalah Asy Syakuur, Sang Maha Bersyukur. Sehingga akhirnya  yang tersisa pada diri kita hanyalah rasa IMAN yang bertambah dan  bertambah kepadanya. Karena setiap rasa iman kita kepada-Nya akan  dibalasnya dengan Iman dari-Nya. Sebab Dia memang adalah Sang Maha  Beriman, Al Mu’min.
Jadi proses laa ilaha illah itu ternyata  puncaknya adalah rasa IMAN kepada Allah. Dengan kata lain, iman inilah  puncak ilmu spiritual yang sebenarnya, yang sudah kita lupakan  sedemikian lamanya. Ya…, rasa Iman kepada Allah lah ILMU YANG TERTINGGI  yang bisa kita dapatkan dalam sebuah proses beragama. Sedangkan hal-hal  yang lainnya hanyalah merupakan aktifitas yang menandakan bahwa kita ini  hanyalah abdi Allah, hamba Allah, kurir Allah, khalifah Allah yang  diturunkan-Nya kemuka bumi ini untuk berkarya dan berperadaban.
Allah –  glory be to Him and may He be exalted! – has given inanimate objects  awareness and perception by which they glorify their Lord. The stones  fall down out of fear of Him. The mountains and trees prostrate. The  pebbles, water, and plants glorify Him. All this is going on but we are  not aware of it. Allah the Great said, “There is nothing which does not  glorify His praise, but you do not understand their glorification”.  (Quran 17:44) The companions heard the food that was being eaten  glorifying Allah. That was because the companions had a transparency of  heart that does not now exist among us. All these things are part of our  world and yet we are in complete ignorance of them.
Truly in  the heart there is a void that can not be removed except with the  company of Allah. And in it there is a sadness that can not be removed  except with the happiness of knowing Allah and being true to Him. And in  it thereis an emptiness that can not be filled except with love for Him  and by turning to Him and always remembering Him And if a person were  given all of the world and what is in it, it would not fill this  emptiness.
Bila Ada  Kata yang Kurang Berkenan Insya alloh Semata-mata Hanya Wujud Kebodohan  Diri….dan Ke alpaan Semua Semua Diri, Sajatinya Tiada Ilmu Tanpa  Kepintaran, Tiada Bodoh Tanpa Berilmu dan Beramal..
 Mudah2n aloh Memberkati Kita semua. amein.
Di Sunting dan Disarikan, Serta dikaji Dari:
[1]Shaykhul Islam al Hujjatul Islam
Abu Hamid al-Ghazzali
(as Sufi al Naqschibandi ra)
geb.1059 in Tus, Ostiran; 
gest.1111bedeutendster shafiitischer Rechtsgelehrter und aschariitischer
Theologe des Islams ,Denker ,
lehrte an der Nizamiyya-Hochschule in Bagdad
[2] For a general discussion of the debate on Sufism in the twentieth  century, see Carl W. Ernst, Sufism: An Essential Introduction to the  Philosophy and Practice of the Mystical Tradition of Islam (Boston:  Shambhala, 1997), 199-228; Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti-Sufis: The  Defence, Rethinking and Rejection of Sufism in the Modern World  (Richmond, Surrey: Curzon Press, 1999), chs. 4-6.
[3] Linda Schatkowski Schilcher, Families in Politics: Damascene  Factions and Estates of the 18th and 19th Centuries (Stuttgart: Steiner  Verlag, 1985), 194-196; Zaim Khenchelaoui and Thierry Zarcone, “La  Famille Jilânî de Hama – Syrie (Bayt al- Jilânî),” Journal of the  History of Sufism, 1-2 (2000), 61-71.
[4] Linda Schatkowski Schilcher, Families in Politics: Damascene  Factions and Estates of the 18th and 19th Centuries (Stuttgart: Steiner  Verlag, 1985), 194-196; Zaim Khenchelaoui and Thierry Zarcone, “La  Famille Jilânî de Hama – Syrie (Bayt al- Jilânî),” Journal of the  History of Sufism, 1-2 (2000), 61-71.
[5] Muhammad Abu al-Yusr ‘Abidin, Hakaya al-Sufiyya (Damascus: Dar al-basha’ir, 1993).